Menemukan Ulang Rejog Panaraga: Membaca Tradisi Reyog Lewat Catatan Pigeaud
![]() |
| Halaman judul Javaanse Volksvertoningen (1938) karya Th. G. Th. Pigeaud, salah satu sumber etnografi awal yang merekam Rejog Panaraga sebelum formalisasi narasi Reyog Ponorogo. |
Dalam percakapan mengenai budaya nasional, Reyog Ponorogo hampir selalu hadir sebagai simbol keteguhan tradisi. Wujudnya yang spektakuler, dentuman kendang yang menghentak, serta kemegahan Dhadak Merak menjadikannya ikon kebudayaan Indonesia. Namun di balik kemegahan itu tersimpan sejarah panjang yang jarang disentuh: sejarah Rejog Panaraga, bentuk awal Reyog yang dicatat Th. Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoningen (1938).
Catatan Pigeaud bukan sekadar dokumentasi kolonial, melainkan pintu masuk untuk memahami dinamika awal tradisi Reyog. Ia menggambarkan Rejog bukan sebagai drama, tetapi pertunjukan yang memadukan ritual gerak, topeng, dan tarian kuda. Ia menulis, “Réjog Panaraga. Van deze vertoning van mommedans en paarddans te zamen...” (Rejog Panaraga. Dari pertunjukan tari topeng dan tari kuda secara bersamaan ini...).
Deskripsi tersebut menunjukkan bahwa Reyog tidak lahir sebagai kisah heroik seperti sekarang, melainkan sebagai ekspresi performatif masyarakat tradisi yang hidup, cair, dan terus ditafsirkan ulang.
Tradisi yang Bertumbuh, Bukan Membeku
Salah satu poin penting dari catatan Pigeaud adalah gambaran barongan awal: topeng kepala macan dengan ornamen merak berukuran kecil. Bentuk ini jauh berbeda dari Dhadak Merak raksasa masa kini. Perbedaan tersebut bukan tanda penyimpangan, melainkan bukti dinamika tradisi.
Budaya yang hidup tidak pernah statis; ia bergerak bersama zaman dan imaginasi masyarakat.
Tokoh Ganoeng, yang dulu dipahami sebagai roh hutan, kini menjelma menjadi Ganong, figur akrobatik yang energik dan humoris. Transformasi ini menunjukkan bahwa tradisi tidak hanya diwariskan, tetapi terus dihidupkan dengan kreativitas.
Pigeaud juga mencatat bahwa Kelana Sewandana pada masa itu belum menjadi tokoh sentral. Ia menulis bahwa “Klana [...] slechts toeschouwer of figurant” (Kelana hanya sebagai penonton atau figuran). Struktur dramatik Reyog modern dengan Kelana sebagai protagonis baru menguat setelah proses formalisasi pasca-1987 melalui Festival Reyog Nasional dan penetapan pakem oleh Pemerintah Kabupaten Ponorogo.
Mengapa Rejog Panaraga Penting untuk Hari Ini?
Menemukan ulang Rejog Panaraga bukan soal menghakimi keaslian tradisi, melainkan memberi konteks historis yang memperkaya pemahaman kita terhadap Reyog. Ketika tradisi dianggap tidak berubah, kita kehilangan kesempatan untuk melihat kecerdasan masyarakat Ponorogo dalam mengolah warisannya.
Tradisi kuat bukan karena beku, tetapi karena mampu beradaptasi tanpa kehilangan identitas.
Reyog adalah contoh paling kuat. Dari ritus sederhana, berkembang menjadi pertunjukan dramatik megah, dan kini berfungsi sebagai simbol identitas daerah dan nasional. Memahami Rejog Panaraga menuntun kita pada kesadaran bahwa pertunjukan Reyog hari ini adalah dialog panjang antara masa lalu dan masa kini.
Tradisi, dalam pengertian ini, adalah organisme hidup bukan fosil yang tak boleh disentuh.
Budaya sebagai Ruang Pengetahuan
Dalam lanskap budaya Indonesia yang terus berkembang, kita membutuhkan cara pandang yang tidak hanya merayakan bentuk pertunjukan, tetapi juga menggali dasar pengetahuan yang membentuknya. Rejog Panaraga memberikan pijakan historis yang memperdalam diskusi mengenai Reyog Ponorogo.
Karya Pigeaud bisa dibaca sebagai penanda awal perjalanan panjang Reyog. Dari sana kita belajar bahwa tradisi selalu dalam proses menjadi. Pemahaman ini mengajak kita untuk menghargai kompleksitas budaya sendiri dengan lebih matang.
Arah Baru Pemahaman Budaya
Menemukan kembali Rejog Panaraga adalah langkah penting untuk memperkuat dialog budaya. Dengan membaca catatan kolonial awal, mencocokkannya dengan praktik masa kini, serta mendengar suara masyarakat yang menghidupkan tradisi, kita membangun pemahaman yang inklusif dan tidak tergesa menetapkan satu versi sejarah.
Reyog Ponorogo membuktikan bahwa budaya tidak rapuh. Ia kokoh, lentur, dan selalu menemukan bentuk baru. Dalam setiap gerak jathilan, kibasan barongan, dan hentakan musik di panggung hari ini, tersimpan perjalanan panjang yang layak dirayakan.
Rejog Panaraga bukan hanya masa lalu Reyog Ponorogo ia adalah fondasi yang menunjukkan bahwa tradisi ini telah, sedang, dan akan terus menghidupi kebudayaan Indonesia.
Tentang Penulis
Sri Widagdo Purwo Ardyasworo adalah Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah di Universitas Diponegoro. Fokus kajiannya meliputi sejarah budaya dan konstruksi identitas Ponorogo. Ia adalah alumnus Universitas Brawijaya dan Jiangxi Normal University, Tiongkok.

