SUMOROTO 1837–1877 : Empat Dekade Perlawanan Administratif yang Terlupakan
![]() |
| Foto Ilustrasi Raden Mas Adipati Brotodiningrat |
Menelusuri kembali sejarah Sumoroto yang selama 40 tahun mempertahankan otonomi sebelum dilebur ke Ponorogo pada 1877. (Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo*)
Dalam peringatan Hari Jadi Kabupaten Ponorogo setiap 11 Agustus, narasi resmi selalu merujuk pada tahun 1496 saat Bathoro Katong dinobatkan sebagai adipati pertama. Tahun ini, Ponorogo memasuki usia ke-529. Namun, ada satu pertanyaan yang jarang diajukan: kapan sesungguhnya Kabupaten Ponorogo modern dengan konfigurasi teritorial seperti sekarang lahir?
Berdasarkan Staatsblad van Nederlandsch-Indië tahun 1877 dan kajian Ong Hok Ham dalam Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018), jawabannya bukanlah 1496, melainkan 1877 tahun ketika Kabupaten Sumoroto, wilayah barat Ponorogo yang selama empat dekade mempertahankan otonominya, resmi dilebur ke dalam Kabupaten Ponorogo. Inilah kisah perlawanan administratif yang nyaris terhapus dari ingatan kolektif.
Empat Kabupaten, Satu Usulan Merger
Ong Hok Ham mencatat bahwa sebelum penyatuan, wilayah Ponorogo terbagi menjadi empat kabupaten mandiri:
- Ponorogo Kutho Wetan (Kota Timur)
- Polorejo (Kutho Lor/Kota Utara)
- Pedanten (Kutho Kidul/Kota Selatan)
- Sumoroto (Kutho Kulon/Kota Barat)
Masing-masing memiliki bupati, struktur pemerintahan, dan legitimasi politik tersendiri.
Menurut historiografi lokal, pada tahun 1837 tujuh tahun setelah Perang Diponegoro pemerintah kolonial berupaya menyatukan keempat kabupaten ini. Atas inisiatif Kertonoto, Patih Pedanten, digelar pertemuan bupati untuk membahas penggabungan demi efisiensi administratif.
Hasilnya mengejutkan: tiga kabupaten Pedanten, Ponorogo Kutho Wetan, dan Polorejo sepakat melebur menjadi satu entitas bernama Ponorogo Kutho Tengah, dengan pusat baru di area alun-alun Ponorogo saat ini.
Hanya satu yang menolak: Sumoroto.
Penolakan Tegas dari Barat
Dalam catatan historiografis lokal, Bupati Sumoroto saat itu Raden Mas Tumenggung Brotodirjo III menyampaikan penolakan keras. Ia memperingatkan bahwa penghapusan Sumoroto berpotensi memicu kerusuhan. Meski kutipan langsungnya masih perlu diverifikasi di arsip kolonial, substansi sikapnya jelas: Sumoroto tidak bersedia melebur.
Konteksnya sangat penting. Sugianto dan Khoirurosyidin (2022) mencatat bahwa Ponorogo memiliki tradisi perlawanan kuat terhadap otoritas kolonial. Belanda sendiri mengakui para warok sebagai pejuang yang “sangat tangguh”.
Baru saja menanggung korban sekitar 200.000 jiwa dan biaya 25 juta gulden dalam Perang Diponegoro, kolonial memilih jalur pragmatis: tidak memaksa. Sumoroto dibiarkan berdiri sendiri berdampingan dengan Kabupaten Ponorogo Kutho Tengah.
Mengapa Sumoroto Bertahan 40 Tahun?
Setidaknya terdapat lima faktor yang memperkuat posisi Sumoroto.
1. Legitimasi genealogis ganda
Historiografi lokal menyebut dinasti Sumoroto memiliki ikatan keluarga dengan Keraton Surakarta. Jika benar, maka legitimasi mereka bersumber dari struktur lokal sekaligus keraton.
2. Basis kekuatan tradisional
Tradisi lisan menyebut Sumoroto sebagai lokasi Kerajaan Bantarangin—pusat mitologis lahirnya tradisi warok. Benar atau tidak secara historis, keyakinan ini memperkuat identitas kolektif warga.
3. Kemandirian ekonomi
Brotodirjo III disebut menolak Tanam Paksa karena dikhawatirkan menyebabkan kelaparan. Meski membutuhkan verifikasi arsip kolonial, klaim ini menunjukkan kuatnya otonomi ekonomi lokal.
4. Posisi geografis strategis
Sebagai wilayah perbatasan Ponorogo–Wonogiri–Pacitan, Afdeeling Sumoroto relatif jauh dari pusat kontrol kolonial di Madiun. Membiarkannya berjalan sendiri lebih efisien bagi Belanda.
5. Kondisi politik kolonial
Tahun 1837 bukan waktu ideal bagi Belanda untuk konflik baru mereka masih masa konsolidasi pasca-Diponegoro dan menghadapi perlawanan di Sumatera Barat (Perang Padri).
1877: Akhir Perlawanan Administratif
Empat dekade kemudian, keadaan berubah. Brotodirjo III wafat pada 1855 dan digantikan putranya, R.M. Brotodiningrat, yang saat itu masih kanak-kanak dan dibesarkan di Keraton Surakarta.
Menurut Regeerings-Almanak, Brotodiningrat kembali menjabat sebagai Bupati Sumoroto sekitar 1869–1870, namun kekuatan politiknya tidak lagi sekuat ayahnya.
Era kolonial pun bergeser ke Politik Liberal (1870–1900): swasta masuk, Tanam Paksa dihapus bertahap, dan reorganisasi administratif dilakukan.
Pada 1877, Staatsblad mencatat bahwa Kabupaten Sumoroto dihapus dan dilebur ke Kabupaten Ponorogo. Strategi yang digunakan Belanda bukan represi, melainkan kooptasi: Brotodiningrat tidak disingkirkan, melainkan dipindah menjadi Bupati Ngawi, lalu dipromosikan ke Madiun (1885–1900) dengan gelar Adipati.
Ini mencerminkan munculnya pola “bupati karier”, bukan lagi pemuka tradisional lokal.
Jejak yang Masih Terasa
Hingga kini, pengaruh pemisahan 1837–1877 masih bisa dirasakan:
- Masyarakat masih memakai istilah Etan Kali (Timur Sungai) dan Kulon Kali (Barat Sungai).
- Nama Sumoroto tetap lebih populer dibanding “Kauman”, meski secara administratif Kauman adalah nama resmi kecamatannya.
Toponim lama membuktikan dirinya lebih kuat daripada keputusan birokrasi.
Celah dalam Narasi Resmi
Perda Hari Jadi Ponorogo (1996) melompati dinamika abad ke-19 dan langsung menghubungkan Ponorogo modern dengan Bathoro Katong. Padahal, konfigurasi teritorial Ponorogo modern lahir dari proses penyatuan panjang empat kabupaten (1837–1877), bukan kesinambungan langsung dari Kadipaten Katong.
Seminar Pemkab Ponorogo yang diberitakan Jatim Times (28 Agustus 2025) telah membuka ruang untuk meninjau ulang narasi Hari Jadi dengan pendekatan ilmiah. Balai Pelestarian Kebudayaan bahkan menegaskan bahwa Staatsblad merupakan sumber utama untuk menentukan pembentukan administratif.
Ini bukan soal meniadakan Bathoro Katong, melainkan melengkapi narasi sejarah agar lebih utuh.
Relevansi Kini
Kasus Sumoroto menyajikan pelajaran penting bagi wacana penataan daerah:
- Penggabungan wilayah yang mengabaikan legitimasi lokal biasanya memicu resistensi.
- Belanda pun memilih menunggu 40 tahun hingga kondisi sosial-politik memungkinkan.
- Kooptasi, bukan paksaan, menjadi strategi yang akhirnya berhasil.
Hari ini, ketika pemerintah menggagas efisiensi dan wacana penggabungan daerah, faktor sosial-kultural semestinya dipertimbangkan, bukan hanya logika birokratis.
Mengembalikan Kompleksitas Sejarah
Sumoroto bukan catatan kaki, melainkan aktor penting dalam pembentukan Ponorogo modern. Tanpa dinamika 1837–1877, bentuk Kabupaten Ponorogo mungkin berbeda dari yang kini kita kenal.
Memasuki usia ke-529, Ponorogo perlu memperkaya narasi sejarahnya bukan untuk menggugat yang ada, tetapi untuk mengakui kompleksitas proses pembentukan identitas kolektif. Sejarah yang utuh adalah sejarah yang tidak menyederhanakan kerumitan dan tidak melupakan mereka yang pernah mengambil jalan berbeda.
Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro. Disertasinya mengkaji transformasi kultural warok dan Reog Ponorogo.
Catatan Metodologis
Sumber Primer
- Staatsblad van Nederlandsch-Indië (1877)
- Regeerings-Almanak voor Nederlandsch-Indië (berbagai tahun)
- Arsip Nasional Republik Indonesia & Nationaal Archief Den Haag
Sumber Sekunder
- Ong Hok Ham, Madiun dalam Kemelut Sejarah (2018)
- Sugianto & Khoirurosyidin, “Kiprah Bupati Brotodiningrat…” (2022)
Sumber Tersier/Lokal
- Kompilasi historiografi lokal Ponorogo baik daring maupun cetak.
Beberapa klaim dari kategori ini diberi penanda karena masih membutuhkan verifikasi arsip kolonial.
Penulis mengundang koreksi dan masukan dari pembaca yang memiliki akses ke sumber-sumber primer yang belum terverifikasi dalam tulisan ini.(Warta Kota Kita/wapimred)
Opini : Sejarah Ponorogo
