SEJARAH PENYEBARAN ISLAM DI GRESIK: PELABUHAN PERDAGANGAN DAN GERBANG ISLAMISASI JAWA
Gresik merupakan salah satu kota tertua di Indonesia yang memiliki peran strategis dalam sejarah penyebaran Islam di Nusantara, khususnya di Pulau Jawa. Sebagai pelabuhan penting sejak era Hindu-Buddha hingga masa Islam, Gresik menjadi pintu gerbang masuknya agama Islam sekaligus tempat berkembangnya peradaban Islam awal di Jawa Timur.
Kota yang terletak di pesisir utara Jawa ini tidak hanya berfungsi sebagai pusat perdagangan maritim internasional, tetapi juga sebagai basis penyebaran ajaran Islam yang kemudian merambah ke seluruh Jawa. Artikel ini mengkaji secara mendalam sejarah penyebaran Islam di Gresik dari abad ke-11 hingga abad ke-16, dengan fokus pada peran pelabuhan, tokoh-tokoh penyebar Islam, strategi dakwah, serta warisan budaya yang ditinggalkan.
Gresik sebagai Pelabuhan Internasional Pra-Islam
Sebelum Islam masuk, Gresik telah dikenal sebagai pelabuhan penting dalam jalur perdagangan maritim Nusantara. Menurut Ricklefs (2008), Gresik disebut dalam berbagai catatan perdagangan asing sejak abad ke-11, menunjukkan bahwa kota ini telah menjadi pusat aktivitas ekonomi regional.
Pelabuhan Gresik menghubungkan perdagangan rempah-rempah dari Maluku dengan pasar Asia Tenggara, Tiongkok, India, dan Arab. Keberadaan pelabuhan ini menciptakan masyarakat kosmopolitan yang terbuka terhadap pengaruh luar, termasuk agama dan budaya baru.
Posisi geografis Gresik yang strategis di muara Sungai Bengawan Solo menjadikannya pelabuhan transit penting bagi kapal-kapal dagang yang berlayar melalui Selat Malaka menuju Kepulauan Maluku. Komunitas pedagang dari berbagai etnis Arab, Gujarat, Persia, dan Tiongkok telah menetap di Gresik sejak masa pra-Islam, menciptakan ekosistem perdagangan yang dinamis. Kondisi ini memfasilitasi masuknya Islam melalui jalur perdagangan maritim yang damai, berbeda dengan pola penyebaran agama melalui penaklukan militer di wilayah lain.
Fase Awal Penyebaran Islam (Abad ke-11–14)
Penyebaran Islam di Gresik dimulai pada abad ke-11 Masehi, dibawa oleh para pedagang Muslim dari Gujarat, Arab, dan Persia yang singgah atau menetap di pelabuhan ini. Meskipun komunitas Muslim awal masih kecil, mereka membentuk enklave di kawasan pelabuhan dan menjalankan aktivitas perdagangan sambil memperkenalkan ajaran Islam kepada penduduk lokal.
Proses Islamisasi awal di Gresik berlangsung secara gradual dan adaptif, tanpa pendekatan konfrontatif terhadap kepercayaan lokal yang masih kuat berakar pada tradisi Hindu–Buddha. Para pedagang Muslim menikah dengan perempuan lokal, menciptakan generasi Muslim pertama yang memiliki ikatan kultural dengan masyarakat setempat. Strategi akulturasi ini terbukti efektif dalam membangun penerimaan terhadap Islam, baik di kalangan elit lokal maupun masyarakat umum.
Pada abad ke-14, Gresik berada di bawah pengaruh Kerajaan Majapahit yang berpusat di pedalaman Jawa Timur. Meskipun Majapahit merupakan kerajaan Hindu–Buddha, pemerintahannya bersifat toleran terhadap komunitas Muslim di wilayah pesisir. Kerajaan ini memahami pentingnya Gresik sebagai pelabuhan perdagangan dan memberikan otonomi kepada komunitas Muslim untuk mengelola aktivitas komersial mereka. Kebijakan toleransi ini memungkinkan Islam berkembang tanpa hambatan politik yang berarti.
Era Walisongo dan Peran Maulana Malik Ibrahim (Abad ke-15)
Akselerasi penyebaran Islam di Gresik terjadi pada abad ke-15, ditandai dengan kedatangan Maulana Malik Ibrahim, salah satu tokoh Walisongo yang paling berpengaruh. Maulana Malik Ibrahim, yang juga dikenal sebagai Syekh Maulana Maghribi, tiba di Gresik sekitar tahun 1404 M dari Persia melalui Gujarat.
Ia mendirikan pesantren pertama di Gresik yang menjadi model pendidikan Islam di Jawa, dengan menggabungkan pengajaran agama dan pengetahuan praktis seperti pertanian, perdagangan, serta kerajinan. Pendekatan dakwah yang digunakannya bersifat kontekstual dan akomodatif terhadap budaya lokal.
Maulana Malik Ibrahim tidak menghapus praktik budaya Jawa yang tidak bertentangan dengan prinsip Islam, melainkan memberi muatan nilai-nilai Islam di dalamnya. Metode ini dikenal sebagai dakwah kultural, yang menekankan transformasi nilai dari dalam, bukan penggantian total struktur budaya yang ada. Pendekatan ini terbukti lebih efektif dibandingkan dakwah yang bersifat konfrontatif.
Strategi Dakwah dan Akulturasi Budaya
Penyebaran Islam di Gresik tidak hanya mengandalkan dakwah verbal, tetapi juga strategi sosial-ekonomi yang komprehensif. Beberapa strategi kunci yang digunakan para penyebar Islam di Gresik meliputi:
- Integrasi dalam jaringan perdagangan yang memberikan keuntungan ekonomi bagi para pemeluk Islam.
- Pernikahan antara pedagang Muslim dan elit lokal yang menciptakan aliansi politik dan ekonomi.
- Pendirian lembaga pendidikan pesantren sebagai pusat pembelajaran dan pembinaan ulama lokal.
Para ulama di Gresik juga memanfaatkan seni dan budaya lokal sebagai media dakwah. Penggunaan gamelan dalam ritual keagamaan, pengembangan seni kaligrafi Arab dengan gaya Jawa, serta penciptaan sastra keagamaan berbahasa Jawa merupakan contoh akulturasi budaya yang memfasilitasi penerimaan Islam. Pendekatan ini berbeda dengan model Islamisasi di Timur Tengah yang cenderung menggantikan budaya lokal dengan budaya Arab.
Gresik dalam Jaringan Kesultanan Islam (Akhir Abad ke-15–16)
Pada akhir abad ke-15 dan awal abad ke-16, seiring melemahnya Majapahit, Gresik berkembang menjadi pelabuhan penting dalam jaringan kesultanan Islam di pesisir Jawa. Kota ini memiliki hubungan erat dengan Kesultanan Demak, kerajaan Islam pertama di Jawa yang berdiri sekitar tahun 1500 M.
Gresik menjadi basis ekonomi yang mendukung ekspansi politik Demak melalui pajak perdagangan dan bea cukai pelabuhan. Pada masa ini pula, Gresik berkembang sebagai pusat produksi dan ekspor keramik serta tembikar yang terkenal di Nusantara. Industri ini tidak hanya menciptakan kemakmuran ekonomi, tetapi juga menjadi media penyebaran seni Islam, dengan motif kaligrafi dan geometris Islam yang menghiasi produk-produk keramik Gresik.
Sejarah penyebaran Islam di Gresik merepresentasikan proses Islamisasi yang kompleks dan multidimensional di Nusantara. Dimulai dari kedatangan pedagang Muslim pada abad ke-11, berlanjut dengan pembentukan komunitas Muslim pada abad ke-14, hingga akselerasi dakwah pada masa Walisongo di abad ke-15, Gresik memainkan peran sentral dalam transformasi religius dan kultural Jawa.
Keberhasilan Islamisasi di Gresik tidak terlepas dari posisinya sebagai pelabuhan internasional, strategi dakwah yang akomodatif terhadap budaya lokal, serta peran tokoh-tokoh seperti Maulana Malik Ibrahim yang memadukan pembelajaran agama dengan pemberdayaan sosial-ekonomi.
Studi tentang penyebaran Islam di Gresik memberikan pelajaran penting tentang bagaimana agama dapat berakar kuat dalam masyarakat melalui pendekatan yang menghargai konteks lokal dan memanfaatkan jalur sosial yang telah ada. Model Islamisasi Gresik yang damai dan berbasis perdagangan ini menjadi ciri khas Islam Nusantara yang dikenal moderat, toleran, dan mampu berdialog dengan keragaman budaya. Warisan sejarah ini tetap relevan dalam memahami dinamika Islam kontemporer di Indonesia serta menghadapi tantangan pluralisme di era modern.
Referensi
Azra, A. (2013). Jaringan ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara abad XVII dan XVIII: Akar pembaruan Islam Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Graaf, H. J. de, & Pigeaud, T. G. T. (1984). Kerajaan-kerajaan Islam pertama di Jawa: Tinjauan sejarah politik abad ke-15 dan ke-16. Jakarta: Mata Bangsa.
Ricklefs, M. C. (2008). Sejarah Indonesia modern 1200–2008. Jakarta: Serambi Ilmu Semesta.
