NEWS

Reog Ponorogo sebagai Warisan Budaya Takbenda UNESCO: Dari Pengakuan Menuju Pelestarian Substansial

Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo 
Mahasiswa Program Doktoral Sejarah
Universitas Diponegoro

Catatan: Artikel ini merupakan refleksi akademis untuk memperkaya diskusi strategi pelestarian Reog Ponorogo pascapenetapan UNESCO, dengan tetap menghormati pencapaian semua pihak yang terlibat.

Pengakuan UNESCO atas Reog Ponorogo membuka babak baru upaya pelestarian yang tidak hanya seremonial, tetapi menyentuh nilai, praktik, dan keberlanjutan budaya.

Penyerahan sertifikat Warisan Budaya Takbenda UNESCO untuk Reog Ponorogo pada 2 Desember 2025 menandai pencapaian bersejarah kebudayaan lokal yang kini mendapat pengakuan global. Dari perspektif historiografi kebudayaan, pencapaian ini menghadirkan pertanyaan fundamental: bagaimana memastikan pengakuan internasional dapat mendukung keberlanjutan substansi kebudayaan Reog dengan menjaga keseimbangan antara pelestarian nilai intrinsik dan pemanfaatan untuk kesejahteraan masyarakat?

Transformasi Historis: Dari Spiritual-Ritual Menuju Seni Pertunjukan

Perspektif historiografi kebudayaan menunjukkan bahwa artefak budaya mengalami transformasi makna seiring perubahan konteks sosial-politik.[1] Reog Ponorogo memiliki perjalanan panjang dari praktik tradisional yang berakar pada spiritualitas warok hingga menjadi pertunjukan seni yang dikenal luas. Warok dalam konteks historis bukan sekadar penari, melainkan memiliki fungsi sosial-religius dalam sistem nilai kosmologis Jawa.

Penelitian etnografi tentang tradisi Jawa membuktikan bahwa praktik ritual tradisional memiliki lapisan makna kompleks yang tidak dapat direduksi menjadi tontonan estetis semata.[2] Proses modernisasi dan formalisasi kebudayaan sejak Orde Baru hingga era reformasi telah membawa Reog dari ranah ritual-spiritual menuju ranah seni pertunjukan yang lebih inklusif. Penetapan UNESCO memberikan momentum baru yang mengharuskan Reog didokumentasikan dan dipresentasikan mengikuti standar internasional.

Studi tentang tradisi mengingatkan bahwa praktik kebudayaan sering kali mengalami proses reinterpretasi dan rekonstruksi sesuai dengan kebutuhan kontemporer.[3] Hal ini mengajak refleksi: bagaimana dalam proses formalisasi ini, esensi filosofis Reog dapat tetap terjaga sambil beradaptasi dengan dinamika zaman?

Paradoks Pelestarian di Era Globalisasi

Pernyataan Dirjen Diplomasi Promosi Kemenbud bahwa penetapan UNESCO merupakan awal tanggung jawab yang lebih besar menunjukkan kesadaran akan kompleksitas pelestarian. Pengakuan ini membuka peluang dukungan legal, pendanaan, dan kerja sama internasional. Namun, pengalaman global menunjukkan perlunya kewaspadaan terhadap fenomena budaya destinasi, yaitu ketika budaya lokal bertransformasi menjadi objek pariwisata.[4]

Kajian kritis tentang warisan budaya memperingatkan konsep disonansi warisan: proses penetapan warisan global dapat menghasilkan wacana warisan resmi yang tidak sepenuhnya mencerminkan keragaman perspektif komunitas pemilik tradisi.[5] Analisis tentang globalisasi juga menggarisbawahi risiko penyeragaman budaya yang dapat mengikis keunikan lokal.[6]

Paradoks mendasar pelestarian Reog terletak pada ketegangan antara universalisme UNESCO dan partikularitas tradisi lokal. Pengakuan global mensyaratkan standarisasi dokumentasi dan presentasi yang dapat mengasingkan tradisi dari konteks sosial-spiritualnya. Tantangannya adalah membangun "pelestarian dialektis" pendekatan yang mampu mengelola ketegangan antara formalisasi global dan vitalitas lokal tanpa mereduksi salah satunya. Inilah pembaruan konseptual yang diperlukan dalam diskusi pelestarian warisan budaya Indonesia.

Representasi Inklusif: Siapa yang Berbicara untuk Reog?

Proses penetapan UNESCO melibatkan pemerintah daerah, Kementerian Kebudayaan, KNIU, seniman, dan masyarakat. Kajian arkeologi pengetahuan mengingatkan bahwa setiap narasi resmi terbentuk melalui proses seleksi yang menentukan apa yang dianggap relevan untuk direpresentasikan.[7] Pertanyaan krusial: bagaimana memastikan narasi Reog mengakomodasi perspektif warok dan seniman lokal yang mewarisi pengetahuan turun-temurun?

Studi tentang suara marginal dalam representasi budaya mengajak untuk membangun ruang partisipasi yang lebih inklusif.[8] Dalam konteks Reog, warok senior sebagai penjaga pengetahuan harus memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam menentukan arah pengembangan tradisi.

Diperlukan pendekatan "historiografi partisipatif" yang menempatkan pelaku tradisi bukan sebagai objek penelitian, melainkan sebagai penulis bersama narasi warisan budaya. Ini berarti melibatkan warok dalam proses dokumentasi, interpretasi, dan diseminasi pengetahuan tentang Reog, sehingga narasi yang dihasilkan bersifat polifonik dan mencerminkan kompleksitas tradisi. Inilah pembaruan metodologis yang dapat memperkuat legitimasi dan keberlanjutan pelestarian.

Keberlanjutan Substansial: Melampaui Institusionalisasi

Komitmen Pemerintah Kabupaten Ponorogo untuk mengimplementasikan program pelestarian berkelanjutan menunjukkan visi yang komprehensif. Namun, kajian tentang autentisitas memperingatkan bahwa pelestarian yang terlalu menekankan keaslian dalam bentuk statis dapat menghambat adaptasi organik.[9] Yang diperlukan adalah pendekatan yang memungkinkan Reog terus berkembang dengan tetap mempertahankan nilai-nilai intinya, sehingga tradisi ini tetap relevan dan bermakna bagi setiap generasi.

Penelitian tentang transmisi budaya menunjukkan bahwa pelestarian yang efektif melibatkan transfer habitus sistem disposisi yang tertanam yang membuat praktik budaya menjadi bermakna bagi pelakunya, bukan sekadar keterampilan yang dipelajari secara mekanistis.[10] Pertanyaan reflektif: bagaimana memastikan generasi muda tidak hanya menguasai keterampilan teknis Reog, tetapi juga memahami nilai-nilai kejujuran, keberanian, dan spiritualitas yang melekat pada tradisi ini?

Strategi Pelestarian Berbasis Historiografi

Berdasarkan analisis historiografis, beberapa strategi dapat dipertimbangkan. Pertama, dokumentasi mendalam terhadap pengetahuan warok senior melalui metode sejarah lisan yang sistematis. Kajian memori kolektif menunjukkan pentingnya praktik yang tertanam dalam transmisi pengetahuan antar-generasi.[11] Dokumentasi ini sebaiknya tidak hanya merekam pertunjukan, tetapi juga filosofi, nilai, dan kosmologi yang melatarbelakangi praktik Reog, sehingga warisan pengetahuan dapat diakses generasi mendatang.

Kedua, sistem transmisi pengetahuan dapat diperkuat melalui pendekatan komplementer baik melalui lembaga formal maupun jalur pembelajaran tradisional yang menjaga esensi pembelajaran berbasis pengetahuan yang tertubuh. Ini mencakup revitalisasi sistem guru-murid tradisional yang memfasilitasi transfer tidak hanya keterampilan teknis, tetapi juga etika dan spiritualitas warok.

Ketiga, pengembangan mekanisme partisipasi inklusif dalam pengambilan keputusan tentang masa depan Reog dapat memperkuat rasa kepemilikan bersama. Kajian ekonomi moral menekankan pentingnya memastikan manfaat ekonomi kembali kepada komunitas pelaku tradisi untuk menjaga vitalitas tradisi di tingkat akar rumput.[12]

Penutup: Warisan yang Hidup

Studi tentang relasi masa lalu dan masa kini mengingatkan bahwa setiap generasi merekonstruksi masa lalunya sesuai dengan kebutuhan kontemporer.[13] Penetapan UNESCO dapat dipahami sebagai salah satu bentuk rekonstruksi Reog untuk kebutuhan masa kini identitas nasional, promosi pariwisata, dan ekonomi kreatif. Yang penting adalah memastikan rekonstruksi ini tetap menjaga koneksi dengan komunitas lokal dan tidak mengasingkan Reog dari akarnya.

Kajian revolusi budaya mengajarkan bahwa kebudayaan adalah proses yang hidup dan terus dinegosiasikan oleh setiap generasi, bukan sesuatu yang statis.[14] Dengan demikian, Reog Ponorogo dapat berkembang tidak hanya sebagai warisan yang dirayakan dalam forum internasional, tetapi juga sebagai tradisi yang terus hidup dan bermakna dalam kehidupan sehari-hari masyarakat Ponorogo.

Pengakuan UNESCO semoga dapat menjadi momentum untuk memperkuat komitmen bersama pemerintah, akademisi, seniman, warok, dan masyarakat dalam merawat dan mengembangkan Reog sebagai pusaka budaya yang tak ternilai harganya. Tantangan utama bukanlah sekadar mendapatkan pengakuan internasional, melainkan memastikan tradisi ini dapat terus hidup dan bermakna bagi generasi mendatang.

Rujukan

[1] Peter Burke, What Is Cultural History? (Cambridge: Polity Press, 2004), 45-62.

[2] Clifford Geertz, The Religion of Java (Glencoe: Free Press, 1960), 11-35.

[3] Eric Hobsbawm dan Terence Ranger, ed., The Invention of Tradition (Cambridge: Cambridge University Press, 1983), 1-14.

[4] Barbara Kirshenblatt-Gimblett, Destination Culture: Tourism, Museums, and Heritage (Berkeley: University of California Press, 1998), 151-176.

[5] Laurajane Smith, Uses of Heritage (London: Routledge, 2006), 29-34.

[6] Arjun Appadurai, Modernity at Large: Cultural Dimensions of Globalization (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1996), 27-47.

[7] Michel Foucault, The Archaeology of Knowledge, terj. A. M. Sheridan Smith (London: Tavistock Publications, 1972), 21-30.

[8] Gayatri Chakravorty Spivak, "Can the Subaltern Speak?," dalam Marxism and the Interpretation of Culture, ed. Cary Nelson dan Lawrence Grossberg (Urbana: University of Illinois Press, 1988), 271-313.

[9] Regina Bendix, In Search of Authenticity: The Formation of Folklore Studies (Madison: University of Wisconsin Press, 1997), 7-32.

[10] Dorothy Noyes, Fire in the Plaça: Catalan Festival Politics After Franco (Philadelphia: University of Pennsylvania Press, 2003), 15-40.

[11] Paul Connerton, How Societies Remember (Cambridge: Cambridge University Press, 1989), 72-104.

[12] James C. Scott, The Moral Economy of the Peasant: Rebellion and Subsistence in Southeast Asia (New Haven: Yale University Press, 1976), 1-34.

[13] David Lowenthal, The Past Is a Foreign Country (Cambridge: Cambridge University Press, 1985), 185-210.

[14] Raymond Williams, The Long Revolution (London: Chatto & Windus, 1961), 41-71.

Catatan Penulis: Mahasiswa Program Doktoral Sejarah di Universitas Diponegoro dengan fokus penelitian pada transformasi kebudayaan dan warisan budaya takbenda. Artikel ini merupakan refleksi akademis yang bertujuan mendorong diskusi mendalam tentang pelestarian budaya yang substansial.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image