Ponorogo dan Wengker: Membaca Sejarah Wilayah Jawa di Luar Batas Administratif Modern
Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo
Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro
Sejarah wilayah kerap dibaca secara tergesa-gesa melalui kacamata administratif modern. Peta kabupaten, garis batas resmi, dan nomenklatur pemerintahan masa kini sering diproyeksikan ke masa lalu, seolah-olah ruang sejarah bersifat statis dan tidak berubah. Cara pandang semacam ini berisiko menyederhanakan kompleksitas sejarah wilayah. Dalam konteks tersebut, Ponorogo menjadi contoh yang menarik sekaligus problematis.
Ponorogo kerap dipahami sebagai wilayah yang baru muncul pada masa Islam atau kolonial. Padahal, berbagai sumber primer menunjukkan bahwa ruang geografis yang kini dikenal sebagai Ponorogo memiliki jejak politik dan administratif yang jauh lebih tua. Dalam prasasti-prasasti abad ke-11 dan ke-12, wilayah ini dikenal dengan nama Wengker, sebuah entitas politik yang memainkan peran penting dalam dinamika kekuasaan Jawa Timur pasca-keruntuhan Medang.
Empat prasasti utama Pucangan, Ngendat atau Sawo, Mruwak, dan Sirah Keting menjadi fondasi dokumenter untuk membaca ulang sejarah wilayah ini. Keempatnya bukan legenda, bukan pula tafsir belakangan, melainkan dokumen resmi yang merekam peristiwa politik dan administrasi pada masanya. Ketika dibaca secara terpadu, prasasti-prasasti tersebut menunjukkan bahwa wilayah di barat Gunung Wilis bukanlah ruang pinggiran yang pasif, melainkan arena politik yang dinamis dan berkelanjutan.
Prasasti Pucangan merupakan sumber utama untuk memahami konflik antara Airlangga dan Wengker. Prasasti ini ditulis dalam dua bahasa, Sanskerta dan Jawa Kuno, dengan rentang penanggalan antara 959 hingga 963 Saka. Isinya mencatat perjalanan hidup Airlangga, termasuk ekspedisi militernya untuk menyatukan kembali Jawa Timur setelah kehancuran Medang. Dalam prasasti tersebut disebutkan bahwa pada 952 Saka, Airlangga menyerang Raja Wengker bernama Panuda. Serangan ini tidak serta-merta mengakhiri perlawanan, karena konflik berlanjut hingga beberapa tahun berikutnya. Fakta bahwa Airlangga memerlukan waktu panjang untuk menundukkan Wengker menunjukkan bahwa kerajaan ini merupakan entitas politik yang kuat dan tidak mudah ditaklukkan.
Setelah wafatnya Airlangga dan pembagian kerajaan menjadi Janggala dan Panjalu, Jawa Timur memasuki fase fragmentasi kekuasaan. Dalam konteks inilah wilayah barat Gunung Wilis kembali menunjukkan perannya. Prasasti Ngendat atau Sawo, yang berasal dari abad ke-12 dan ditemukan di wilayah Ponorogo, menjadi indikasi penting adanya kesinambungan aktivitas politik dan administratif di kawasan tersebut, meskipun tidak secara eksplisit menyebut nama Wengker.
Bukti paling jelas mengenai eksistensi kekuasaan otonom di wilayah Ponorogo–Madiun pasca-Airlangga berasal dari Prasasti Mruwak dan Prasasti Sirah Keting. Kedua prasasti ini dikeluarkan oleh tokoh yang sama, Sri Jayawarsa Digjaya Sastraprabhu. Prasasti Mruwak mencatat penetapan sebuah desa sebagai sima setelah mengalami serangan, sementara Prasasti Sirah Keting secara lebih eksplisit memuat klaim genealogis penguasa tersebut sebagai cucu Raja Dharmawangsa Teguh. Klaim ini menunjukkan upaya legitimasi politik dengan mengaitkan kekuasaan lokal pada dinasti besar Jawa Timur sebelumnya.
Keberadaan prasasti-prasasti tersebut membuka pertanyaan metodologis yang lebih luas mengenai cara membaca wilayah dalam historiografi. Peta dan batas administratif bukanlah representasi netral, melainkan konstruksi politik. Membaca sejarah Ponorogo semata-mata melalui kerangka kabupaten modern berarti mengabaikan jejak-jejak kekuasaan yang pada masanya melampaui batas administratif tersebut.
Prasasti-prasasti dari abad ke-11 hingga ke-13 menunjukkan bahwa wilayah di barat Gunung Wilis pernah menjadi satu kesatuan politik yang cukup kuat untuk menantang kekuasaan besar, lalu bangkit kembali sebagai entitas otonom. Membaca Ponorogo tanpa memahami Wengker sama dengan membaca teks tanpa konteks, karena lapisan-lapisan sejarah inilah yang membentuk identitas wilayah tersebut.
Hubungan antara Wengker kuno dan Ponorogo masa kini tentu tidak dapat ditarik secara linear. Perubahan demografis, linguistik, dan kultural selama berabad-abad menciptakan jarak sejarah yang kompleks. Namun demikian, prasasti-prasasti ini menegaskan bahwa wilayah Ponorogo bukanlah terra incognita dalam historiografi Jawa Kuno. Ia merupakan bagian integral dari dinamika politik Jawa Timur dan layak mendapatkan perhatian lebih serius dalam penulisan sejarah.
Membaca sejarah di luar batas administratif modern bukan berarti menafikan realitas kekinian, melainkan memperkaya pemahaman tentang bagaimana wilayah-wilayah di Nusantara terbentuk melalui proses panjang yang melibatkan konflik, negosiasi, dan transformasi. Ponorogo, dengan jejak Wengker-nya, menjadi contoh bahwa sejarah lokal tidak pernah benar-benar lokal, melainkan selalu terhubung dengan dinamika yang lebih luas.
Daftar Pustaka
Sumber Primer
Prasasti Pucangan (959 Saka/1037 M dan 963 Saka/1041 M). Koleksi Museum India, Kolkata.
Prasasti Ngendat/Sawo (1055 Saka/1133 M). Dukuh Ngrenak, Desa Ketro, Kecamatan Sawoo, Kabupaten Ponorogo.
Prasasti Mruwak (1108 Saka/1186 M). Desa Mruwak, Kecamatan Dagangan, Kabupaten Madiun.
Prasasti Sirah Keting (1126 Saka/1204 M). Koleksi Museum Nasional Indonesia.
Sumber Sekunder
Harley, J.B. 1989. Deconstructing the Map. Cartographica.
Kern, H. 1917. Verspreide Geschriften.
Nasoichah, Churmatin. 2007. Prasasti Mrwak 1108 Śaka.
Nasoichah, Churmatin. 2017. Prasasti Sirah Keting.
Poesponegoro, Marwati Djoened dan Nugroho Notosusanto (eds.). 2008. Sejarah Nasional Indonesia II.
Susanti, Ninie. 2005. Airlangga: Biografi Raja Pembaru Jawa Abad XI.
Titi Surti Nastiti, dkk. 2022. Towards a Corpus of Inscriptions Issued during Airlangga’s Reign.
Witasari, Vernika Hapri. 2009. Prasasti Pucangan Sanskerta 959 Saka.
