Ponorogo dan Sejarah yang Bekerja dalam Sunyi
![]() |
| foto Monumen Reog Ponorogo berdiri menjulang di kawasan perbukitan, menjadi penanda identitas budaya sekaligus ruang perjumpaan warga dalam aktivitas sehari-hari. |
Penulis : Sri Widagdo Purwo Ardyasworo (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah
Universitas Diponegoro, Semarang)
Dalam penulisan sejarah Indonesia, perhatian kerap tertuju pada kota-kota besar, pertempuran menentukan, dan tokoh-tokoh yang meninggalkan jejak monumental. Padahal sejarah tidak selalu bergerak melalui peristiwa yang gaduh. Ada wilayah-wilayah yang justru berperan melalui kerja sunyi tidak menonjol dalam narasi nasional, tetapi menopang jalannya sejarah itu sendiri. Ponorogo adalah salah satunya.
Selama revolusi kemerdekaan 1945–1949, Ponorogo tidak dikenal sebagai medan pertempuran besar. Tidak ada agresi militer berskala luas sebagaimana tercatat di Surabaya atau Ambarawa. Namun kondisi geografis dan sosialnya sebagai wilayah pedalaman dengan jaringan desa yang solid memungkinkan daerah ini berfungsi sebagai ruang penopang perjuangan: tempat yang relatif aman bagi pergerakan logistik dan keberlangsungan hidup masyarakat sipil di tengah perang. Revolusi tidak hanya bertahan karena kemenangan di garis depan, tetapi juga karena wilayah-wilayah belakang yang menjaga kesinambungan. Dalam kerangka inilah Ponorogo perlu dibaca ulang.
Memasuki dekade 1950-an hingga pertengahan 1960-an, peran Ponorogo tampak melalui jalur kebudayaan. Reog kesenian rakyat yang berakar kuat di pedesaan tidak lagi hadir semata sebagai hiburan. Catatan surat kabar dan dokumen organisasi kebudayaan sezaman menunjukkan bahwa kesenian ini turut digunakan dalam mobilisasi politik dan perayaan ideologis di tingkat lokal. Reog menjadi medium komunikasi yang mampu menjangkau lapisan masyarakat yang tidak tersentuh pidato atau pamflet. Pada fase ini, budaya lokal bukan entitas pasif; ia ikut membentuk dinamika sosial-politik zamannya.
Situasi tersebut berubah drastis setelah 1965. Gejolak politik nasional berdampak langsung pada kehidupan sosial dan kebudayaan di berbagai daerah, termasuk Ponorogo. Sejumlah kelompok kesenian yang sebelumnya aktif mendadak lenyap dari catatan. Beberapa praktik budaya berhenti diwariskan bukan karena kehilangan peminat, melainkan karena iklim sosial-politik yang tidak lagi memungkinkan. Di banyak tempat terjadi apa yang dapat disebut sebagai pemutusan ingatan kolektif: sebuah kekosongan yang tidak selalu tampak, tetapi sangat menentukan cara masyarakat memahami masa lalunya hingga hari ini.
Pada masa Orde Baru, negara membuka kembali ruang bagi Reog, namun dalam kerangka yang berbeda. Kesenian ini distandarkan dan diformalkan melalui festival serta kebijakan kebudayaan daerah. Festival Reyog yang diselenggarakan secara rutin sejak era tersebut menjadi tonggak penting dalam proses ini. Reog diposisikan sebagai simbol identitas daerah yang aman dan terkendali. Di satu sisi, langkah ini mencegah kepunahan. Di sisi lain, ia memisahkan Reog dari konteks sejarah dan fungsi sosialnya yang lebih kompleks. Budaya dipelihara, tetapi dalam batas yang ditentukan.
Pasca-Reformasi 1998, ruang ekspresi kembali terbuka. Sejarah lokal mulai dibaca ulang, termasuk relasi antara Reog, politik, dan ingatan kolektif. Puncaknya terjadi pada Desember 2024 ketika Reog Ponorogo resmi diakui sebagai Warisan Budaya Takbenda oleh UNESCO. Pengakuan ini membawa kebanggaan sekaligus tantangan baru. Status warisan dunia tidak otomatis menyelesaikan persoalan sejarah. Justru ia membuka pertanyaan mendasar: siapa yang berhak mendefinisikan narasi, versi mana yang ditampilkan ke dunia, dan sejauh mana budaya diperlakukan sebagai warisan hidup bukan sekadar simbol.
Membaca Ponorogo dalam rentang satu abad terakhir menunjukkan satu pola: wilayah ini hadir dalam momen-momen krusial sejarah Indonesia revolusi, demokrasi parlementer, gejolak 1965, Orde Baru, hingga pengakuan global namun hampir selalu tanpa suara lantang. Kontribusinya nyata, tetapi jarang disebut. Di sinilah Ponorogo relevan dibaca sebagai representasi sejarah yang bekerja dalam keheningan.
Pada akhirnya, membaca Ponorogo bukan sekadar menambah daftar kontribusi daerah dalam narasi nasional. Ia merupakan ajakan untuk meninjau ulang cara kita memahami sejarah itu sendiri. Republik ini tidak hanya dibangun oleh dentuman pertempuran dan pidato-pidato besar, tetapi juga oleh wilayah-wilayah yang menopang dari belakang: desa-desa yang menjaga keberlangsungan hidup di masa perang, kebudayaan yang menggerakkan solidaritas, serta masyarakat yang bertahan meski ingatannya pernah terputus.
Pengakuan Reog sebagai warisan budaya dunia semestinya tidak berhenti pada perayaan simbolik. Ia harus menjadi momentum untuk membaca kembali sejarah lokal secara jujur dan utuh termasuk bagian-bagian yang pernah dibungkam atau disederhanakan. Tanpa kerja ingatan semacam itu, warisan budaya berisiko menjadi etalase: indah dipamerkan, tetapi kehilangan makna sosialnya.
Ponorogo mengajarkan bahwa sejarah Indonesia juga ditulis dalam sunyi. Justru di sanalah letak kekuatannya. Tugas kita hari ini bukan membuat sejarah itu berteriak, melainkan memastikan ia tidak lagi diabaikan. Sebab bangsa yang besar bukan hanya pandai merayakan masa lalu, tetapi juga berani mendengarkan suara-suara yang selama ini bekerja dalam diam.
