NEWS

Beringin adalah "Arsitektur Politik" Jawa yang Kemudian Menjadi Simbol Keindonesiaan

Foto ilustrasi Alun-alun kidul Yogyakarta

Menelusuri evolusi beringin dari instrumen kekuasaan keraton Jawa hingga menjadi simbol persatuan Indonesia.

Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo*
Disunting oleh Redaksi Warta Kota Kita

Ketika kita memandang pohon beringin yang menjulang di tengah alun-alun kota-kota Jawa, atau melihat lambang negara Garuda Pancasila yang menjadikannya simbol sila ketiga, kita sesungguhnya sedang berhadapan dengan arsitektur politik yang telah melintasi berabad-abad. Beringin bukan sekadar vegetasi tropis; ia adalah instrumen kekuasaan yang ditempatkan secara strategis dari masa keraton Hindu-Jawa, kesultanan Islam, kolonialisme, hingga era republik modern.

Pertanyaan yang relevan bukan mengapa beringin “dipilih”, tetapi bagaimana pohon ini dibentuk sebagai teknologi politik yang mampu bertahan melampaui pergantian rezim, agama, dan struktur negara. Sejarah menunjukkan bahwa beringin adalah produk desain ruang kekuasaan Jawa yang kemudian dinasionalisasi.


Dari Halaman Keraton ke Alun-Alun: Transformasi Ruang Politik

Sebelum kedatangan Islam, istana-istana Hindu-Buddha di Jawa telah mengenal halaman terbuka untuk upacara dan representasi kosmologi. Namun, perubahan besar terjadi pada abad ke-15 hingga ke-17 pada masa Demak, Pajang, dan terutama Mataram. Di sinilah konsep alun-alun distandarisasi sebagai ruang politik publik.

Alun-alun bukan lagi sekadar halaman sakral, melainkan panggung kekuasaan: tempat sultan menggelar upacara, memimpin peradilan, hingga berinteraksi dengan rakyat. Di titik pusat ruang inilah beringin ditempatkan sebagai penanda visual yang tegas.

Di bawah Sultan Agung (1613–1645), konsep Waringin Kurung berkembang: dua pohon beringin ditanam di sisi utara dan selatan alun-alun, mengapit ruang publik sebagai axis mundi sumbu dunia yang menghubungkan raja, rakyat, dan kosmos.¹ Pola ini menjadi standar tata kota Jawa hingga awal abad ke-20.


Beringin sebagai Simbol Legitimasi dan Kontrol Simbolik

Beringin dipilih karena memiliki kekuatan simbolis sekaligus politis. Secara fisik, akar gantung dan tajuk yang lebat menciptakan kesan keabadian, perlindungan, dan kesinambungan atribut yang penting dalam legitimasi kekuasaan Jawa.

Lebih jauh, alun-alun dengan beringin adalah theater of state panggung tempat raja menampilkan otoritasnya.² Beringin menciptakan ruang visual yang membatasi gerak sekaligus mempertegas hierarki. Siapa pun yang berada di alun-alun “berada di bawah pengawasan” kekuasaan, baik secara simbolik maupun struktural.

Beringin juga menjalankan fungsi integrasi religius. Pada masa Islamisasi Jawa, beringin yang memiliki asosiasi animistis tidak dihapus, tetapi diakomodasi melalui penempatan Masjid Agung di sisi barat alun-alun. Dengan demikian, beringin tidak lagi menjadi objek pemujaan, melainkan bagian dari arsitektur Islam-Jawa yang telah disesuaikan.


Kolonialisme: Beringin sebagai Penanda Administrasi

Ketika VOC hingga pemerintah Hindia Belanda menguasai Jawa, mereka mendapati sistem tata ruang yang telah mapan. Alih-alih menghapusnya, mereka mempertahankan pola alun-alun dengan beringin bukan karena menghargai tradisi lokal, tetapi karena sistem ini efektif dalam kontrol administratif.

Belanda menjadikan alun-alun, beringin, masjid, dan kantor regentschap sebagai template kolonial.³ Dengan mempertahankan bentuk ruang yang dikenal rakyat, Belanda membangun kontinuitas visual sehingga perubahan penguasa tidak terasa drastis. Inilah strategi hegemoni kultural: menguasai dengan cara mempertahankan simbol, tetapi mengubah maknanya.


Dari Jawa ke Indonesia: Nasionalisasi Beringin dalam Pancasila

Setelah kemerdekaan, para perumus bangsa membutuhkan simbol nasional yang dapat diterima seluruh Indonesia. Beringin dipilih sebagai lambang sila ketiga Pancasila bukan karena sifat ekologisnya yang mewakili seluruh nusantara, melainkan karena ia telah terinstitusionalisasi selama masa kolonial.⁴

Ironinya, simbol persatuan Indonesia ternyata berasal dari tradisi partikular Jawa yang kemudian dinasionalisasi. Hal ini menunjukkan bahwa identitas Indonesia modern dibangun melalui adopsi unsur lokal yang diberi makna baru untuk kepentingan politik nasional.

Transformasi beringin dari pohon keramat Jawa menjadi lambang negara adalah contoh klasik dari invention of tradition tradisi yang tampak kuno, padahal maknanya dikonstruksi ulang sesuai kepentingan zaman.⁵


Refleksi: Pohon Lokal yang Menjelma Simbol Negara

Beringin membuktikan bahwa simbol politik tidak selalu berupa bangunan monumental. Kadang ia hadir sebagai pohon yang ditanam strategis di tengah ruang publik, dengan akar yang merambat ke tanah sekaligus ke dalam memori kolektif.

Dari ambisi Sultan Agung, strategi kolonial Belanda, hingga aspirasi nasional Indonesia, beringin telah menjadi entitas multirezim yang terus diproduksi ulang maknanya. Ia adalah arsitektur politik Jawa yang melampaui Jawa, menjelma simbol keindonesiaan yang menyatukan banyak identitas lokal dalam sebuah kesepakatan kebangsaan.

Penulis adalah mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro.


Catatan Kaki

  1. Denys Lombard, Nusa Jawa: Silang Budaya, Bagian II, 86–92.
  2. Shelly Errington, Meaning and Power in a Southeast Asian Realm, 96–129.
  3. Freek Colombijn, Under Construction, 142–167.
  4. Benedict Anderson, Imagined Communities, 113–140.
  5. Eric Hobsbawm & Terence Ranger (ed.), The Invention of Tradition, 1–14.

Bibliografi

  • Anderson, Benedict. Imagined Communities. London: Verso, 1983.
  • Colombijn, Freek. Under Construction. Leiden: KITLV Press, 2010.
  • Errington, Shelly. Meaning and Power in a Southeast Asian Realm. Princeton: Princeton University Press, 1989.
  • Hobsbawm, Eric & Terence Ranger (eds.). The Invention of Tradition. Cambridge University Press, 1983.
  • Lombard, Denys. Nusa Jawa: Silang Budaya. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1996

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image