Kampak Patik, Perlawanan Dari Desa Pada Penjajah Belanda
![]() |
| Kantor Kepala Desa Patik, Kecamatan Pulung, Ponorogo, ruang administratif desa yang menjadi salah satu titik penting dalam sejarah sosial lokal, termasuk peristiwa Pemberontakan Pulung 1885. |
November 1885: Ketika Desa Melawan Negara Kolonial
Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro)
Dalam sejarah Indonesia, tidak semua perlawanan lahir dengan nama besar dan gema panjang. Sebagian justru hadir dalam bentuk peristiwa lokal, singkat, dan segera dipadamkan, lalu menghilang dari narasi nasional. Salah satunya adalah Pemberontakan Pulung di wilayah Ponorogo pada November 1885 sebuah perlawanan rakyat desa terhadap pemerintahan kolonial Hindia Belanda yang tercatat dalam arsip dan pers kolonial, namun jarang dibaca sebagai bagian penting dari sejarah sosial Jawa.
Peristiwa ini bukan sekadar “kerusuhan desa”, melainkan cermin tentang bagaimana kolonialisme bekerja di tingkat paling bawah, sekaligus bagaimana rakyat merespons ketika tekanan struktural melampaui batas toleransi.
Desa di Bawah Tekanan Kolonial
Pada dekade 1880-an, wilayah Ponorogo yang secara administratif berada di bawah Keresidenan Madiun mengalami peningkatan tekanan fiskal. Meskipun Sistem Tanam Paksa (cultuurstelsel) secara resmi dihapus pada 1870, penderitaan rakyat pedesaan tidak serta-merta berkurang. Sistem pajak tanah (landrentestelsel) yang menggantikannya tetap membebani petani kecil.
Surat kabar kolonial De Locomotief edisi 26 November 1885 mencatat bahwa tingginya pajak kolonial menjadi salah satu penyebab utama pergolakan di Desa Patik dan Pulung. Laporan Direktur Binnenlands Bestuur menunjukkan bahwa pajak tanah di Desa Patik mengalami kenaikan signifikan: dari 783 gulden (1883) menjadi 930 gulden (1885) kenaikan hampir 19 persen dalam dua tahun tanpa peningkatan lahan garapan yang sepadan.
Lebih mencengangkan lagi, proporsi pajak terhadap pendapatan petani mencapai 16,1 persen, jauh di atas angka 6,1 persen yang dilaporkan Residen Madiun kepada pemerintah pusat di Batavia. Kesenjangan antara statistik resmi dan realitas lapangan ini memperlihatkan beban riil yang ditanggung masyarakat pedesaan.
Elite Lokal yang Terpinggirkan
Berbeda dari stereotip pemberontakan petani, Pemberontakan Pulung dimotori oleh kalangan priyayi lokal yang memiliki akar genealogis dalam struktur aristokrasi tradisional. Tokoh sentralnya adalah Raden Martodimejo, keturunan langsung Bupati pertama Ponorogo. Ia pernah menjabat sebagai jagawana (pejabat kehutanan) sebelum akhirnya diberhentikan.
Jaringan konspirasi melibatkan putranya yang bekerja di biro statistik Pacitan, seorang keponakan yang pernah menjadi juru tulis, hingga seorang etnis Tionghoa bernama Sim Ju Hing, mantan agen candu pemerintah. Hampir seluruh jaringan ini bermukim di Desa Patik. Komposisi tersebut menunjukkan bahwa pemberontakan ini bukan semata ekspresi kemarahan petani miskin, melainkan juga manifestasi frustrasi elite lokal yang terpinggirkan oleh modernitas birokrasi kolonial.
Malam 2 November 1885
Pemberontakan meletus pada malam 2 November 1885. Sekitar 50–70 orang bersenjatakan keris dan tombak menyerang rumah Wedana Pudak serta kediaman Kontrolir Belanda di wilayah pinggiran Ponorogo. Meski berhasil melakukan penjarahan simbolik, aksi ini gagal menyulut dukungan yang lebih luas.
Menurut kesaksian yang dikutip De Locomotief, para pemberontak menyatakan motivasi mereka secara gamblang:
“Kami datang karena wong cilik tidak sanggup membayar pajak.”
Salah satu seorang bahkan berkata:
“Orang kecil ini bahkan tidak mampu memakai celana karena uangnya dipakai untuk membayar pajak.”
Kesaksian ini menegaskan bahwa beban fiskal menjadi penyulut utama perlawanan.
Tanpa logistik dan dukungan massa yang memadai, rombongan pemberontak melanjutkan perjalanan ke Desa Caper. Di sana, mereka menerima makanan dari kepala desa yang telah dicampur obat tidur. Dalam keadaan terlelap di pemakaman Dowo, sekitar 22 orang pemberontak dikepung dan ditangkap pasukan kolonial tanpa perlawanan berarti.
Bayangan Ratu Adil dari Pulung Merdiko
Pemberontakan Pulung tidak dapat dipahami sepenuhnya tanpa mempertimbangkan dimensi spiritualnya. Martodimejo memanfaatkan imajinasi kolektif masyarakat Jawa tentang Ratu Adil sosok penyelamat yang diyakini akan hadir pada zaman edan untuk merestorasi keadilan.
Menariknya, De Locomotief mencatat bahwa sebelum menyerang kediaman pejabat kolonial, warga Pulung menyempatkan diri berziarah ke makam suci setempat untuk meminta restu. Makam tersebut kemungkinan adalah makam Raden Jayengrono, sesepuh sekaligus pendakwah Islam di Pulung pada abad ke-18, yang menamai wilayah itu “Pulung Merdiko” sebuah penanda simbolik bahwa daerah tersebut pernah dibebaskan dari kewajiban pajak.
Kisah Jayengrono menjadi sumber inspirasi dan alternatif pandangan dalam menghadapi tekanan ekonomi. Kesulitan material membawa masyarakat Jawa terjajah pada kesadaran-kesadaran eskatologis yang kemudian digunakan untuk membenarkan tindakan perlawanan kolektif.
Penyangkalan yang Terbongkar
Respons awal pemerintah kolonial dipenuhi penyangkalan. Asisten Residen, Residen Madiun, hingga Direktur Binnenlands Bestuur di Batavia menyatakan bahwa persoalan pajak tidak berkaitan dengan pemberontakan. Mereka menunjuk statistik resmi yang menyebut Pulung sebagai daerah dengan hasil kopi cukup baik.
Namun tekanan dari pers kolonial terutama De Locomotief memaksa pemerintah melakukan penyelidikan lanjutan. Hasilnya justru mengungkap kesenjangan besar antara narasi resmi dan realitas sosial. Investigasi ini membawa konsekuensi nyata: beban pajak dikurangi sebagai bentuk kompensasi, sejumlah pejabat kolonial kehilangan karier, dan rekonsiliasi keluarga elite Ponorogo dilakukan demi menjaga stabilitas wilayah.
Suara yang Tidak Boleh Dilupakan
Pemberontakan Pulung 1885 mungkin tidak sebesar Perang Diponegoro atau Pemberontakan Petani Banten 1888. Namun peristiwa ini menegaskan bahwa sejarah Indonesia tidak hanya dibentuk oleh tokoh besar dan peristiwa nasional, melainkan juga oleh desa-desa yang melawan ketika tekanan kolonial melampaui batas kemanusiaan.
Peristiwa ini mengonfirmasi bahwa tekanan fiskal kolonial merupakan faktor struktural utama di balik banyak perlawanan abad ke-19. Ia juga menunjukkan bahwa perlawanan tidak semata bersifat material-ekonomis, melainkan juga spiritual-kultural. Imajinasi tentang Ratu Adil menyediakan kerangka makna bagi rakyat untuk memahami penderitaan mereka dan mengambil tindakan kolektif.
Membaca ulang peristiwa ini bukan upaya membesarkan masa lalu, melainkan mengembalikan suara rakyat kecil ke dalam sejarah yang lebih adil dan utuh. Sebab, betapapun kecilnya, setiap perlawanan adalah pengingat bahwa rakyat tidak pernah sepenuhnya diam menghadapi ketidakadilan. (*)
Referensi
- De Locomotief, 26 November 1885.
- Ong Hok Ham. Madiun dalam Kemelut Sejarah: Priayi dan Petani di Keresidenan Madiun Abad XIX. Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia, 2018.
- Sindhunata. Ratu Adil: Ramalan Jayabaya & Sejarah Perlawanan Wong Cilik. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2024.
- Hakiki, Syahrul. “Strategi Dakwah Raden Jayengrono dalam Menyebarkan Ajaran Islam di Kecamatan Pulung.” Skripsi, IAIN Ponorogo, 2020.
