NEWS

Jejak Rel yang Terlupakan Sejarah Jalur Kereta Api Madiun–Ponorogo–Slahung dan Dinamika Transportasi Nasional

Eks Stasiun Kereta Api Balong, Bangunan peninggalan jalur Madiun–Ponorogo–Slahung yang kini menyatu dengan ruang kota, menyimpan jejak sejarah perkeretaapian di pedalaman Jawa.

Sejarah Infrastruktur, Politik Transportasi, dan Ingatan yang Terhapus di Pedalaman Jawa

Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo
(Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro) 

Dalam historiografi transportasi Indonesia, kereta api bukan sekadar moda angkutan. Ia merupakan instrumen kekuasaan kolonial, sarana integrasi wilayah, sekaligus pembentuk ruang sosial dan ekonomi pedalaman Jawa. Namun demikian, tidak semua jejak perkeretaapian memperoleh tempat yang layak dalam ingatan kolektif nasional. Salah satu yang paling mencolok adalah jalur kereta api Madiun–Ponorogo–Slahung, sebuah lintasan yang pernah beroperasi hampir delapan dekade sebelum akhirnya lenyap dari peta operasional tanpa narasi sejarah yang proporsional.

Konsesi Kolonial dan Realisasi yang Tertunda

Gagasan pembangunan jalur kereta api menuju Ponorogo telah muncul sejak 1873, ketika Pemerintah Kolonial Belanda mengeluarkan konsesi pembangunan jalur Surabaya–Solo dan Madiun–Ponorogo. Dokumen Spoorwegen op Java mencatat rencana tersebut sebagai bagian dari strategi integrasi ekonomi pedalaman Jawa. Meski demikian, realisasinya tertunda cukup lama akibat ekspansi permukiman dan pembangunan di Kota Madiun pada akhir abad ke-19.

Landasan hukum baru diterbitkan pada 31 Desember 1904 melalui Wet yang dimuat dalam Staatsblad 1905 No. 11. Pembangunan kemudian dilaksanakan oleh Staatsspoorwegen secara bertahap: ruas Madiun–Mlilir dibuka pada Mei 1907, Mlilir–Ponorogo pada September 1907, dan Ponorogo–Balong pada November 1907. Perpanjangan menuju Slahung baru selesai pada 1922 berdasarkan Staatsblad 1920 No. 53.

Secara keseluruhan, panjang jalur Madiun–Slahung mencapai sekitar 58 kilometer. Jalur ini dirancang sebagai trem uap dengan rel ringan yang mengikuti badan jalan raya, berbeda dengan jalur kereta api utama yang memiliki koridor tersendiri.

Fungsi Ekonomi dan Peran Pascakemerdekaan

Pembangunan jalur ini tidak terlepas dari kepentingan ekonomi kolonial. Ponorogo dikenal sebagai wilayah produksi gula dan kayu jati, sementara Madiun dan sekitarnya merupakan lumbung beras penting. Jalur kereta api berfungsi mempercepat distribusi hasil bumi menuju pusat administrasi dan pelabuhan ekspor.

Perpanjangan jalur ke Slahung secara khusus dimaksudkan untuk mengangkut batu gamping dari kawasan tambang. Jalur ini juga melayani distribusi hasil Pabrik Gula Kanigoro dan Pagotan yang menjadi simpul ekonomi penting di Karesidenan Madiun.

Setelah kemerdekaan, lintasan ini tetap beroperasi di bawah Djawatan Kereta Api, PNKA, dan kemudian PJKA. Kesaksian warga serta dokumentasi visual menunjukkan bahwa hingga awal 1980-an, jalur ini masih aktif melayani angkutan penumpang dan barang dengan lokomotif uap.

Kapan Jalur Ini Ditutup?

Penentuan waktu penutupan jalur Madiun–Ponorogo–Slahung kerap menimbulkan simpang siur. Penelusuran arsip menunjukkan bahwa wacana penutupan muncul sejak 1982. Keputusan administratif penutupan diperkirakan ditetapkan pada 1983, sementara operasional fisik terakhir berlangsung hingga 1984.

Klaim bahwa jalur ini masih beroperasi hingga 1986 perlu dibaca secara kritis. Hingga kini tidak ditemukan dokumen resmi yang menunjukkan adanya layanan reguler pada tahun tersebut. Tahun 1986 lebih tepat dipahami sebagai periode pascapenutupan, ketika rel dan bangunan stasiun masih tersisa tetapi tidak lagi difungsikan.

Orde Baru dan Marginalisasi Jalur Cabang

Penutupan jalur ini merupakan bagian dari pola nasional pada era Orde Baru. Kebijakan transportasi bergeser drastis ke pembangunan jalan raya, sementara kereta api terutama jalur cabang dipandang tidak efisien secara ekonomi.

Akibatnya, ratusan kilometer jalur kereta api di Jawa ditutup sejak 1970-an hingga awal 2000-an. Jalur-jalur yang sebelumnya menjadi urat nadi ekonomi lokal dihentikan dengan alasan efisiensi korporasi, sementara modernisasi difokuskan pada lintasan utama yang padat penumpang.

Dampak Sosial yang Jarang Dicatat

Penutupan jalur kereta api bukan sekadar persoalan teknis transportasi. Kereta api berfungsi sebagai ruang interaksi sosial dan penghubung desa-kota. Ketika jalur ini berhenti, rantai pasok yang sebelumnya efisien terpaksa beralih ke transportasi jalan raya yang lebih mahal.

Petani dan pedagang kecil kehilangan akses langsung ke pasar, meningkatkan ketergantungan pada tengkulak dan pemilik armada angkutan. Dengan demikian, penutupan jalur kereta api juga berarti terputusnya jejaring sosial dan ekonomi lokal.

Reaktivasi dan Tantangan Masa Kini

Setelah hampir empat dekade nonaktif, jalur Madiun–Ponorogo–Slahung kembali masuk dalam wacana reaktivasi nasional melalui Rencana Induk Perkeretaapian Nasional hingga 2030. Pada 2025, Pemerintah Kabupaten Ponorogo dan PT Kereta Api Indonesia Daop 7 Madiun menandatangani nota kesepahaman terkait pemanfaatan aset perkeretaapian.

Dukungan pemerintah daerah disertai catatan penting: persoalan lahan bekas jalur yang kini berubah menjadi permukiman dan fasilitas umum harus diselesaikan secara adil dan humanis.

Penutup

Sejarah jalur kereta api Ponorogo menunjukkan bahwa yang terlupakan bukan selalu yang tidak penting, melainkan yang tidak lagi sesuai dengan arah kebijakan zamannya. Sejarah, dalam konteks ini, berfungsi sebagai pengingat kritis agar pembangunan masa depan tidak dibangun di atas penghapusan ingatan.

Jika reaktivasi benar-benar terwujud, ia bukan sekadar proyek infrastruktur, melainkan kesempatan untuk merajut kembali konektivitas sosial dan ekonomi yang pernah menghidupi masyarakat Ponorogo selama puluhan tahun.


Daftar Pustaka

Direktorat Jenderal Perkeretaapian. Rencana Induk Perkeretaapian Nasional. Jakarta: Kementerian Perhubungan, 2011.
Pincoffs, L. dan T.J. Stieltjes. Spoorwegen op Java. Rotterdam: Commissie voor de Spoorwegen op Java, 1873.
Reitsma, S.A. Korte Geschiedenis der Nederlandsch-Indische Spoor- en Tramwegen. Weltevreden: G. Kolff & Co., 1928.
Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 11 Tahun 1905.
Staatsblad van Nederlandsch-Indië No. 53 Tahun 1920.
Kompas.com, 8 Oktober 2025.
Tirto.id, 6 September 2025.
Wikipedia Indonesia, diakses Desember 2025.


Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image