NEWS

Telaga Ngebel: Jejak Transformasi Sosial dalam Lanskap Pegunungan Wilis

foto ilustrasi Telaga Ngebel dari atas Desa Gondowindo

Oleh: Sri (Mahasiswa Doktoral Sejarah, Universitas Diponegoro)

Dalam perjalanan panjang sejarah Indonesia, terdapat ruang-ruang geografis yang menyimpan narasi kompleks mengenai interaksi antara masyarakat, negara, dan alam. Telaga Ngebel di Ponorogo merupakan salah satu di antaranya sebuah lanskap air yang menjadi saksi transformasi sosial sejak era pra-kolonial hingga masa kini. Dengan pendekatan akademis yang berbasis bukti, tulisan ini mengajak pembaca menelusuri perubahan-perubahan tersebut secara kronologis dan analitis.

Akar Identitas: Dari Telaga Nglingi ke Telaga Ngebel

Sebelum modernisasi mengubah wajah kawasan ini, Ngebel merupakan bagian dari komunitas pegunungan yang hidup selaras dengan topografi Gunung Wilis. Unit sosial tradisional tercermin dalam pembagian administratif: Kecamatan Ngebel terdiri atas dua Desa Gondowindo dan Ngebel. Desa Gondowindo memiliki tujuh dukuh (Nglingi, Dacan, Trungo, Dawuk, Batik, Brambang, dan Bliket), sementara Desa Ngebel memiliki dua dukuh (Sekodok dan Sobo).¹

Menariknya, cekungan air yang kini dikenal sebagai Telaga Ngebel awalnya bernama Telaga Nglingi, merujuk pada dukuh yang menguasai wilayah terluas dari telaga.² Budayawan lokal Gondo Puspito menjelaskan bahwa kata nglingi berarti “mengingat,” terkait dengan memori kolektif masyarakat mengenai proses terbentuknya telaga.³ Perubahan nama dari Nglingi menjadi Ngebel mencerminkan penyesuaian identitas lokal terhadap administrasi modern.

Intervensi Kolonial dan Rekayasa Hidraulik (1920–1924)

Periode 1920–1924 merupakan babak penting dalam sejarah Telaga Ngebel. Pemerintah kolonial Hindia Belanda membangun saluran air dari Sungai Talun ke cekungan telaga, sebuah rekayasa hidrologis yang mengubah ekosistem kawasan tersebut.⁴

Menurut catatan resmi Departemen Pekerjaan Umum, meskipun telaga secara administratif disebut menampung air Sungai Jeram, sebagian besar volume airnya sebenarnya berasal dari Sungai Talun melalui saluran buatan yang bertujuan mengairi sekitar 10.000 hektare lahan pertanian.⁵

Jejak fisik era kolonial masih tampak hingga kini, termasuk terowongan Belanda di Dukuh Nglingi.⁶ Terowongan ini dibangun dari dua sisi, timur dan barat, namun tidak berhasil bertemu sehingga proyeknya tidak pernah sempurna.⁷ Pada masa pendudukan Jepang (1942–1945), struktur ini dimanfaatkan sebagai tempat penyimpanan logistik militer.⁸

Meski detail kondisi kerja tidak terdokumentasi secara khusus, literatur tentang kolonialisme Indonesia menunjukkan bahwa proyek infrastruktur besar umumnya melibatkan tenaga kerja lokal dalam pola kerja paksa atau upah minimal. Konteks ini penting untuk memahami warisan sosial era kolonial di Ngebel.

Era Pascakemerdekaan: Dari Irigasi ke Pembangkit Listrik

Setelah kemerdekaan, fungsi Telaga Ngebel mengalami transformasi besar. Pada 1959, PLN menugaskan Ir. Bagoes Moedjiantoro di bawah supervisi Ir. Sedijatmo untuk merancang Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Ngebel.⁹ PLTA tersebut dirancang menghasilkan 1.600 MWh per tahun, menyuplai listrik untuk Karesidenan Madiun.¹⁰

Ir. Sedijatmo juga mengembangkan inovasi pipa pesat yang kemudian dipatenkan di Belanda pada 1954 dan digunakan di beberapa PLTA lain di Indonesia.¹¹ Dari perspektif sejarah teknologi, langkah ini menandai kemajuan kemampuan rekayasa Indonesia pada masa awal republik.

Namun, dari sudut pandang sosial, muncul pertanyaan penting: sejauh mana masyarakat lokal merasakan manfaat langsung dari pembangunan tersebut? Seperti di banyak wilayah berkembang lain, masyarakat sekitar sering kali menanggung dampak ekologis dan sosial yang lebih besar dibandingkan manfaat ekonomi yang mereka peroleh.

Periode Kontemporer: Pariwisata dan Konstruksi Budaya

Dalam beberapa dekade terakhir, Telaga Ngebel berkembang menjadi destinasi wisata utama Ponorogo. Salah satu elemen budaya penting yang berkembang seiring pariwisata adalah Upacara Larungan Telaga Ngebel.

Menurut penelitian Candra Feri Pujiprasetyo, ritual ini bermula pada 1993 dari kesepakatan antara sesepuh, pemerintah kecamatan, dan warga, dipicu kekhawatiran atas seringnya kecelakaan di sekitar telaga.¹² Awalnya sederhana, namun tiga tahun kemudian pemerintah kabupaten mengadopsinya sebagai agenda budaya resmi.¹³ Selanjutnya, Larungan diintegrasikan ke dalam rangkaian Grebeg Suro, memperkuat daya tarik pariwisata Ponorogo.¹⁴

Fenomena ini sesuai dengan konsep invention of tradition menurut Eric Hobsbawm proses bagaimana tradisi baru muncul dan dilegitimasi untuk memenuhi kebutuhan sosial kontemporer.

Meski perkembangan pariwisata menumbuhkan ekonomi lokal, tantangan muncul dalam hal pemerataan: apakah manfaatnya dirasakan seluruh lapisan masyarakat, atau hanya segelintir kelompok yang memiliki akses modal?

Tantangan Ekologis dan Keberlanjutan

Salah satu tantangan terbesar Telaga Ngebel hari ini adalah degradasi ekologis. Data teknis menunjukkan bahwa kedalaman telaga menyusut dari 59 meter menjadi sekitar 20 meter akibat sedimentasi penurunan kapasitas lebih dari 65%.¹⁵

Sedimentasi terjadi karena erosi di daerah tangkapan air yang dipicu perubahan tata guna lahan serta aktivitas manusia. Jika tidak ditangani, kondisi ini dapat mengancam fungsi irigasi maupun wisata.

Ini menimbulkan pertanyaan serius mengenai keadilan antargenerasi: Apakah pemanfaatan Telaga Ngebel saat ini mengorbankan keberlanjutan ekologis untuk masa depan?

Memori Kolektif dan Pelestarian Identitas

Modernisasi wisata membawa perubahan pada memori kolektif masyarakat. Generasi yang masih mengingat wajah asli Telaga Ngebel sebelum pengembangan komersial semakin berkurang.

Budayawan Gondo Puspito mengingatkan pentingnya jejak historis seperti Bale Batur, Kucur Betoro, Sumber Padusan, Sumber Upas, dan Clangap Warih unsur budaya yang berisiko terhapus jika narasi pariwisata mendominasi.¹⁶

Tantangan ke depan adalah menyeimbangkan pemanfaatan ekonomi dengan pelestarian identitas budaya yang berlapis dan historis.

Penutup

Menelusuri sejarah sosial Telaga Ngebel menunjukkan bahwa setiap fase perubahan pra-kolonial, kolonial, pascakemerdekaan, hingga kontemporer selalu membawa dampak yang tidak merata. Namun, masyarakat lokal menunjukkan kemampuan adaptasi dan resiliensi dalam menjaga identitas serta menciptakan tradisi baru.

Keberlanjutan yang sejati memerlukan kebijakan jangka panjang yang melibatkan partisipasi masyarakat lokal, berbasis bukti, dan menghargai kompleksitas sejarah. Dengan memahami sejarah Telaga Ngebel secara komprehensif, kita dapat merancang masa depan yang lebih adil, ekologis, dan berkelanjutan.


CATATAN KAKI

  1. Detik News, “Asal Usul Telaga Ngebel Mendapatkan Namanya,” 14 Februari 2021.
  2. Ibid.
  3. Ibid.
  4. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Bendungan Besar Di Indonesia, 174.
  5. Ibid.
  6. Selingkar Wilis, “Menelisik Jejak Trowongan Belanda di Telaga Ngebel Ponorogo,” 4 September 2025.
  7. Ibid.
  8. Ibid.
  9. “Telaga Ngebel,” Wikipedia Indonesia.
  10. Ibid.
  11. Ibid.
  12. Candra Feri Pujiprasetyo, “Perkembangan Larungan Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo (1993–2012).”
  13. Ibid.
  14. Ibid.
  15. Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum, Bendungan Besar Di Indonesia, 174.
  16. Detik News, “Asal Usul Telaga Ngebel Mendapatkan Namanya.”

Bibliografi

Badan Penelitian dan Pengembangan Pekerjaan Umum. Bendungan Besar Di Indonesia. Jakarta: Departemen Pekerjaan Umum, 1995.
Detik News. “Asal Usul Telaga Ngebel Mendapatkan Namanya.” 14 Februari 2021.
Pujiprasetyo, Candra Feri. Perkembangan Larungan Telaga Ngebel di Kabupaten Ponorogo (1993–2012). Skripsi, Universitas Negeri Malang, 2014.
Selingkar Wilis. “Menelisik Jejak Trowongan Belanda di Telaga Ngebel Ponorogo.” 4 September 2025.
Wikipedia Indonesia. “Telaga Ngebel.” Diakses 6 Desember 2025.

Ditulis oleh : Sri Widagdo Purwo Ardyasworo
Disunting oleh : Warta Kita Kita

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image