NEWS

Reog, Warok, dan Pesantren dalam Narasi Kolonial

Dua dhadhak merak berdiri gagah Reog Ponorogo, kekuatan tradisi yang hidup di tengah massa.

Representasi Kolonial atas Ponorogo

Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo (Mahasiswa Program Doktoral Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro) 

Artikel ini menelaah bagaimana arsip-arsip kolonial khususnya Memorie van Overgave (MvO), laporan administratif, dan etnografi Belanda mengkonstruksi citra Ponorogo sebagai wilayah strategis, sensitif, dan perlu diawasi secara intensif. Melalui pendekatan historiografi kritis, tulisan ini menunjukkan bahwa representasi kolonial tentang Ponorogo dibentuk oleh kombinasi kepentingan administratif dan bias pengetahuan kolonial. Pembacaan terhadap sumber primer dan sekunder terverifikasi mengungkap bahwa struktur sosial, budaya Reog, figur warok, serta jaringan pesantren menjadi faktor penting yang memengaruhi cara Ponorogo diposisikan dalam wacana kolonial. Artikel ini menegaskan bahwa arsip kolonial perlu dibaca bukan sebagai kebenaran objektif, melainkan sebagai dokumen politik pengetahuan.

Ponorogo hadir secara konsisten dalam arsip kolonial Hindia Belanda sebagai wilayah yang dipandang strategis sekaligus sensitif. Penilaian tersebut tidak semata-mata lahir dari data ekonomi, tetapi dari cara pemerintah kolonial mengidentifikasi potensi politik, struktur sosial, dan kekuatan budaya masyarakat lokal.¹ Arsip seperti Memorie van Overgave (MvO) tidak hanya berfungsi sebagai laporan administratif, melainkan juga memuat persepsi subjektif yang mencerminkan bias kolonial. Oleh sebab itu, analisis atas arsip kolonial harus memperhatikan konteks produksi pengetahuan tersebut agar tidak terjebak dalam pemaknaan historis yang timpang.

Ponorogo dalam Administrasi Kolonial

Berbagai MvO mengenai Ponorogo termasuk yang disusun oleh Houtman (1908), Bastiaans (1913, 1916), dan Van der Elst (1926) menggambarkan Ponorogo sebagai kabupaten dengan kepadatan desa tinggi, akses geografis terbatas, serta struktur masyarakat yang kuat.² Karakteristik ini dipandang pemerintah kolonial sebagai faktor yang membutuhkan pengawasan intensif. Pandangan tersebut mencerminkan asumsi kolonial bahwa stabilitas politik sangat dipengaruhi oleh kemampuan mereka mengendalikan jaringan sosial lokal.

Ekonomi Lokal dan Catatan Kolonial

Statistik kolonial seperti Statistiek van Nederlandsch-Indië (1880–1930) menunjukkan bahwa Ponorogo merupakan wilayah agraris dengan produksi padi stabil serta kontribusi signifikan dari hasil hutan.³ Perdagangan kuda Ponorogo juga tercatat sebagai komoditas penting dalam laporan kolonial. Catatan MvO menggambarkan bahwa ketergantungan pada kondisi iklim menjadikan ekonomi Ponorogo fluktuatif, sehingga wilayah ini dianggap rentan terhadap gejolak sosial.

Reog, Warok, dan Pesantren dalam Narasi Kolonial

Pigeaud dalam Javaanse Volksvertoningen (1938) memaparkan Reog sebagai pertunjukan yang memuat unsur ritual serta simbol kekuatan lokal.⁴ Dalam arsip administratif, ekspresi budaya tersebut tidak dianggap netral; ia dilihat memiliki potensi mobilisasi massa. Figur warok kerap disebut sebagai pemimpin informal dengan pengaruh kuat dan jaringan patronase luas.⁵ Demikian pula, pesantren termasuk Tegalsari dicatat sebagai pusat pendidikan Islam Jawa yang memiliki peran sosial dan politik penting.⁶ Narasi-narasi tersebut menunjukkan bahwa pemerintah kolonial memandang budaya lokal bukan sekadar tradisi, tetapi juga sumber kekuatan sosial yang perlu diawasi.

Pembacaan Kritis atas Arsip Kolonial

Arsip kolonial tidak dapat dibaca secara literal karena merupakan produk mekanisme kekuasaan dan berfungsi mendukung kontrol politik. Oleh karena itu, sumber seperti MvO harus diperlakukan sebagai representasi, bukan realitas objektif. Analisis historiografi mengungkap bahwa representasi kolonial mengenai Ponorogo dibentuk oleh ketakutan terhadap potensi resistensi budaya maupun sosial. Pembacaan kritis memungkinkan kita melihat bahwa pengetahuan kolonial turut membentuk citra wilayah tertentu, sementara masyarakat lokal memiliki dinamika yang lebih kompleks dari gambaran arsip tersebut.

Kesimpulan

Dalam arsip kolonial, Ponorogo ditampilkan sebagai wilayah yang diperhitungkan bukan karena kekayaan ekonominya semata, tetapi karena kekuatan sosial dan budayanya. Representasi kolonial ini menunjukkan bagaimana Belanda melihat Ponorogo sebagai ruang dengan potensi kontrol yang tidak mudah. Dengan membaca arsip secara kritis, kita dapat memahami bahwa bias kolonial justru membuka jalan untuk melihat ketahanan budaya dan integritas sosial masyarakat Ponorogo.


Catatan Kaki

  1. Nationaal Archief, Inventaris Memories van Overgave 1852–1962.
  2. Lihat MvO Ponorogo (Houtman 1908; Bastiaans 1913, 1916; Van der Elst 1926), Arsip Nasional Republik Indonesia.
  3. Statistiek van Nederlandsch-Indië, 1880–1930; Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië.
  4. Th. G. Th. Pigeaud, Javaanse Volksvertoningen (’s-Gravenhage: Nijhoff, 1938).
  5. Catatan administratif dalam MvO Ponorogo (1908–1926).
  6. C. F. Winter, “Beschrijving van het landschap Madioen,” TITLV 12 (1863): 241–300.

Daftar Pustaka

Bastiaans, J. Memorie van overgave van den Assistent-Resident Ponorogo. 1913; 1916. ANRI.
Elst, H. van der. Memorie van overgave betreffende het bestuur van de Afdeling Ponorogo. 1926. ANRI.
Houtman. Memorie van overgave van den Controleur van Poerworedjo en Ponorogo. 1908. ANRI.
Nationaal Archief. Inventaris: Memories van Overgave 1852–1962. Den Haag.
Pigeaud, Th. G. Th. Javaanse Volksvertoningen. ’s-Gravenhage: Nijhoff, 1938.
Raffles, Thomas Stamford. The History of Java. London: Black and Parbury, 1817.
Regeeringsalmanak voor Nederlandsch-Indië. Batavia: Landsdrukkerij.
Statistiek van Nederlandsch-Indië. Batavia: Departement van Binnenlands Bestuur.
Winter, C. F. “Beschrijving van het landschap Madioen.” TITLV 12 (1863): 241–300.

Berita Terbaru
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image
  • Skeleton Image