Raden Martopuro: Pahlawan yang Dikriminalisasi Arsip Kolonial
![]() |
| Foto Ilustrasi Makam Raden Martopuro |
Oleh: Sri Widagdo Purwo Ardyasworo*
Pada penghujung tahun 1852, tepatnya 31 Desember, dua pejabat tinggi kolonial Belanda tewas di Ponorogo. Asisten Residen A.W.A. Vincent dan Kontrolir S.G.A. Basslé dibunuh oleh seorang Mantri Gudang Kopi bernama Raden Martopuro dalam arsip kolonial tercatat sebagai Maas Kerto di Poero. Peristiwa ini mengguncang birokrasi Hindia Belanda, sebagaimana dilaporkan Nederlandsche Staatscourant edisi 16 April 1853.
Namun, pertanyaan mendasar tetap menggantung: siapakah sesungguhnya Martopuro pembunuh atau pahlawan?
Dua Wajah Sejarah
Arsip kolonial dan memori rakyat Ponorogo menyajikan dua narasi yang bertolak belakang tentang Martopuro. Dalam laporan resmi Nederlandsche Staatscourant, ia dicitrakan sebagai pegawai bermasalah: malas, berwatak buruk, dan frustrasi akibat penurunan pangkat. Tindakannya direduksi menjadi kriminalitas individual sekadar dendam personal terhadap atasan.
Sebaliknya, Babad Ponorogo karya Purwowijoyo dan tradisi lisan masyarakat menyimpan kisah yang berbeda. Martopuro disebut sebagai keturunan Bupati Ponorogo Kota Timur, Raden Adipati Surodiningrat II. Ia berguru kepada Kanjeng Jimad, Bupati Pacitan, serta turut bertempur dalam Perang Diponegoro (1825–1830) fakta yang bahkan diakui arsip kolonial dengan frasa “gedurende den Javaschen oorlog, tegen ons gestreden heeft” (selama Perang Jawa, bertempur melawan kita).
Lebih dari itu, narasi lokal mengungkap motif ganda perlawanan Martopuro: pembelaan atas kehormatan istrinya yang dilecehkan Asisten Residen Vincent saat inspeksi ke gudang kopi Bungkal, serta perlawanan terhadap monopoli kopi yang menjerat petani.
Kisah “Mètèng Pitung Beruk” (Hamil Tujuh Bulan) di mana istri Martopuro mengajari perempuan desa menyembunyikan kopi di balik kain perut untuk dijual ke pasar bebas menjadi simbol perlawanan ekonomi terhadap eksploitasi kolonial.
Politik Arsip dan Depolitisasi Perlawanan
Mengapa dua narasi ini berbeda begitu tajam?
Ann Laura Stoler, dalam Along the Archival Grain (2009), mengingatkan bahwa arsip kolonial bukanlah gudang fakta netral, melainkan instrumen kekuasaan yang membentuk kategori pengetahuan sesuai kepentingan penjajah. Dengan mereduksi perlawanan Martopuro menjadi soal “frustrasi karier” dan “kemalasan”, arsip kolonial melakukan depolitisasi menghapus dimensi struktural kolonialisme dari tindakan resistensi.
Strategi ini bukan kebetulan. Jika perlawanan Martopuro diakui sebagai respons atas ketidakadilan sistemik monopoli kopi yang memaksa petani menjual hasil panen di bawah harga pasar, atau pelecehan terhadap perempuan pribumi oleh pejabat kolonial maka legitimasi moral tatanan kolonial akan runtuh. Karena itu, Martopuro harus dikriminalisasi, dijadikan anomali individual, bukan representasi perlawanan kolektif.
Pola semacam ini jamak dalam historiografi kolonial. Sartono Kartodirdjo, dalam Protest Movements in Rural Java (1973), menunjukkan bagaimana pemberontakan petani kerap direduksi menjadi “kerusuhan” atau “kriminalitas”, padahal akarnya adalah penindasan struktural. Dalam kerangka ini, Martopuro adalah satu dari sekian tokoh perlawanan yang terhapus dari ingatan nasional karena sejarah ditulis oleh pihak yang berkuasa.
Akhir Kisah yang Berbeda
Bahkan cara Martopuro meninggal dunia pun diperdebatkan. Arsip kolonial mencatat bahwa ia ditembak lalu dibunuh massa setelah melancarkan serangan. Namun tradisi lisan bertutur sebaliknya: Martopuro disebut menyerahkan diri demi menyelamatkan keluarganya yang ditawan, lalu bunuh diri dengan keris di penjara memilih mati sebagai ksatria daripada digantung.
Sumpah setianya dengan sahabat seperjuangan Nurkandam “Ngisor galèng nduwur galèng, mbeguru barèng mati yo barèng” (senasib sepenanggungan hingga mati) menjadi elemen tragis yang mengukuhkan dimensi heroik kisahnya.
Mana yang benar? Mungkin keduanya menyimpan kebenaran parsial. Namun yang lebih penting adalah mengapa memori lokal mempertahankan narasi kepahlawanan, sementara arsip kolonial menghapusnya. Ini bukan sekadar soal mana yang “faktual”, melainkan soal siapa yang berhak mendefinisikan makna sejarah.
Menuju Historiografi yang Adil
Historiografi Indonesia yang dewasa tidak harus memilih satu narasi dan menolak yang lain. Sebaliknya, ia perlu mengonfrontasikan keduanya secara kritis mempertemukan arsip kolonial dengan counter-memory masyarakat terjajah untuk mengungkap dimensi yang disenyapkan oleh rezim pengetahuan kolonial.
Dengan pembacaan semacam ini, Martopuro dapat dipahami dalam kompleksitasnya: seorang mantan prajurit Diponegoro yang hidup di bawah tekanan struktural kolonialisme, bertindak dalam ruang sejarahnya sendiri dengan segala konsekuensi yang ditanggungnya dan dikenang secara berbeda oleh mereka yang berkuasa dan mereka yang dikuasai.
Sudah 172 tahun berlalu sejak peristiwa di Ponorogo itu. Kini saatnya Martopuro diangkat dari kegelapan bukan untuk diromantisasi tanpa kritik, melainkan untuk dipahami secara adil. Sebab, sejarah yang hanya ditulis oleh pemenang adalah sejarah yang tidak lengkap. Dan bangsa yang tidak mengenal pahlawannya sendiri adalah bangsa yang kehilangan akar.
Penulis : Sri Widagdo Purwo Ardyasworo adalah mahasiswa Program Doktor Ilmu Sejarah, Universitas Diponegoro, Semarang. Artikel ini disarikan dari penelitian disertasinya tentang historiografi tandingan dan perlawanan lokal di era kolonial.
