PONOROGO DALAM GENEALOGI TJOKROAMINOTO: MEMBUKA ARSIP YANG LAMA TERLUPAKAN
![]() |
| Foto Ilustrasi Raden Mas Haji Oemar Said Tjokroaminoto |
Ketika Simpul Lokal Hilang dari Narasi Besar Pergerakan Nasional
Bayangkan sebuah ruang kongres di Surabaya, tahun 1917. Di podium berdiri H.O.S. Tjokroaminoto, menyampaikan pidato tentang penindasan ekonomi terhadap petani. Di barisan delegasi, duduk para utusan dari puluhan cabang Sarekat Islam (SI). Salah satunya berasal dari Ponorogo membawa laporan tentang permainan harga karet dan tembakau yang menghimpit kehidupan rakyat kecil.
Ini bukan rekonstruksi fiksi. Semua tercatat dalam notulen Kongres Sarekat Islam yang dimuat dalam Hindia Poetra dan Oetoesan Hindia.¹
Namun seratus tahun kemudian, hampir tak ada yang mengingat bahwa Ponorogo kini identik dengan Reog pernah menjadi salah satu simpul suara dalam pergerakan nasional. Lebih jauh lagi, nyaris tak ada yang tahu bahwa Tjokro sendiri memiliki jejak genealogis yang menghubungkannya dengan lanskap administratif yang mencakup wilayah Ponorogo.
Pertanyaannya: mengapa simpul historis ini hilang dari memori kolektif? Dan apa implikasinya bagi cara kita menulis sejarah Indonesia?
Jejak Genealogis: Arsip Kolonial yang Terlupakan
Dalam Regerings Almanak voor Nederlandsch-Indië edisi 1875–1890 tercantum daftar pejabat priyayi di Karesidenan Madiun meliputi Afdeling Ponorogo.² Penelusuran silsilah keluarga Tjokroaminoto oleh Amelz dan Deliar Noer menunjukkan bahwa ayahnya, R.M. Tjokroamiseno, berkarier dalam struktur birokrasi priyayi Jawa Timur yang lintas kabupaten, termasuk wilayah yang kini menjadi Ponorogo.³
Ini bukan klaim bahwa Tjokro lahir atau dibesarkan di Ponorogo penyederhanaan seperti itu menyesatkan. Yang dapat dikatakan secara hati-hati adalah bahwa terdapat jejaring genealogis-administratif yang menghubungkan keluarga Tjokro dengan struktur priyayi di lingkungan Ponorogo.
Dalam historiografi modern, jejak seperti ini penting bukan karena deterministik, melainkan karena memperlihatkan ruang sosial dan geografis tempat seorang tokoh berakar. Seperti diingatkan Takashi Shiraishi dalam An Age in Motion (1990), memahami figur pergerakan berarti memahami “jaringan lokal yang membentuk basis sosial mereka.”⁴
Sarekat Islam Ponorogo: Suara Petani dalam Panggung Nasional
Jika jejak genealogis bersifat struktural, maka jejak organisasional jauh lebih konkret.
Surat kabar pergerakan Oetoesan Hindia, Sinar Djawa, dan Doenia Bergerak secara konsisten meliput aktivitas SI Cabang Ponorogo antara 1913–1920.⁵ Cabang ini aktif mengirim delegasi ke kongres pusat dan menyuarakan kondisi ekonomi lokal, terutama soal ijon dan manipulasi harga karet serta tembakau.
Dalam notulen Kongres SI 1916 yang diterbitkan Hindia Poetra, delegasi Ponorogo menyampaikan keluhan petani mengenai permainan harga dan eksploitasi pedagang perantara.⁶ Isu ini keadilan ekonomi dan martabat rakyat kecil adalah inti pidato-pidato Tjokro.
Dengan kata lain, ketika Tjokro berbicara tentang petani tertindas, suara Ponorogo ikut hadir di balik panggung itu.
Laporan Koloniaal Verslag 1910–1920 menggambarkan Ponorogo sebagai wilayah produksi karet rakyat, tembakau, dan jagung yang signifikan, namun sekaligus terdampak tekanan pajak kolonial dan fluktuasi harga dunia.⁷ Tidak mengherankan bila gagasan kerakyatan SI disambut respons kuat oleh petani Ponorogo.
Mengapa Jejak Ini Menghilang dari Historiografi Nasional?
Sejarah Indonesia, sebagaimana dikritik Onghokham dan Sartono Kartodirdjo, lama ditulis dari perspektif pusat: Jawa bagian urban, bukan daerah-daerah agraris di pinggiran.⁸ Ponorogo, karena bukan tempat Tjokro bermukim atau berpidato secara monumental, tersisih dari narasi besar.
Padahal dalam studi pergerakan modern, yang penting bukan hanya “di mana tokoh itu berdiri,” melainkan dari mana basis sosial yang menopang pergerakan itu berasal.
Ponorogo memenuhi kriteria tersebut, namun tak pernah masuk dalam narasi arus utama.
Pengakuan yang Proporsional, Bukan Romantisasi
Benar bahwa hubungan genealogis tidak otomatis bermakna kultural. Tjokro dibentuk oleh pendidikan kolonial dan atmosfer kosmopolitan Surabaya. Mengklaim bahwa “etos Ponorogo membentuk Tjokro” jelas spekulatif.
Namun mengabaikan jejak lokal sama sekali adalah bentuk lain dari bias historiografi bias pusat yang menganggap hanya kota besar yang mencetak pemimpin besar.
Yang dibutuhkan adalah pengakuan proporsional: Ponorogo merupakan salah satu simpul lokal penting dalam jaringan pergerakan SI, dengan dua dimensi—genealogis dan organisasional yang membuatnya layak dikaji secara serius.
Kabupaten agraris lain seperti Kediri, Madiun, dan Ngawi memang aktif dalam kongres SI,⁹ tetapi Ponorogo memiliki lapisan genealogis tambahan yang menjadikannya unik dalam konteks Tjokroaminoto.
Catatan Metodologis: Transparansi, Batas, dan Verifikasi
Tulisan ini bersandar pada:
- Arsip administratif kolonial (Regerings Almanak, Koloniaal Verslag)
- Surat kabar pergerakan (1913–1920)
- Kajian historiografi modern (Shiraishi, Deliar Noer, Amelz, Onghokham)
Sejumlah dokumen primer terutama Stamboek Pangreh Praja di ANRI masih menunggu verifikasi lanjutan. Karena itu tulisan ini sebaiknya dipandang sebagai hipotesis kerja terbuka, bukan kesimpulan final.
Tujuannya bukan menutup perdebatan, tetapi membukanya.
Pertanyaan Lebih Besar: Berapa Banyak Sebenarnya yang Hilang?
Jika simpul seperti Ponorogo yang memiliki jejak genealogis dan organisasional hampir tidak muncul dalam historiografi nasional, maka pertanyaan sesungguhnya adalah:
Berapa banyak simpul lokal lain yang luput dari narasi besar Indonesia?
Berapa banyak kabupaten agraris yang menyokong pergerakan, namun tak pernah disebut karena tidak memiliki monumen atau pidato monumental?
Dan jika kita ingin menulis sejarah Indonesia yang lebih adil dan lengkap sejarah yang tidak hanya lahir dari Jakarta dan Surabaya dari mana kita harus mulai?
Mungkin salah satunya adalah Ponorogo. Atau tempat-tempat lain yang arsipnya masih terpendam.
Yang jelas, sejarah bukan hanya tentang lokasi seorang tokoh hidup. Sejarah adalah tentang di mana gagasannya tumbuh, diterima, dan diperjuangkan oleh rakyat.
Dalam hal ini, Ponorogo layak mendapat tempat dalam narasi pergerakan nasional.
CATATAN KAKI
¹ Hindia Poetra, “Verslag Congres Sarekat Islam te Soerabaja,” 20 Juni 1917; Oetoesan Hindia, “Laporan dari Daerah: SI Ponorogo,” April–Juni 1916.
² Regerings Almanak voor Nederlandsch-Indië (1875–1890), bagian “Binnenlandsch Bestuur.”
³ Amelz, HOS Tjokroaminoto (1952), hlm. 15–18; Deliar Noer, Gerakan Modern Islam (1980), hlm. 112–115.
⁴ Takashi Shiraishi, An Age in Motion (1990), hlm. 45–67.
⁵ Laporan-laporan SI di Oetoesan Hindia, Sinar Djawa (1913–1918), Doenia Bergerak (1918–1920).
⁶ Hindia Poetra, “Congresverslag: Delegatie uit Ponorogo,” 20 Juni 1917.
⁷ Koloniaal Verslag (1910–1920), Bijlage C.
⁸ Onghokham (1984); Sartono Kartodirdjo (1992).
⁹ Shiraishi (1990); Deliar Noer (1980).
Tentang Penulis
Sri Widagdo Purwo Ardyasworo adalah mahasiswa doktoral Sejarah di Universitas Diponegoro, meneliti transformasi figur warok dan Reog Ponorogo dalam konteks warisan budaya UNESCO. Tulisan ini merupakan bagian dari upaya membuka kembali jejak historis Ponorogo yang kerap terpinggirkan dalam historiografi nasional.
